Terkadang hadiah tak selalu terbungkus indah. Kadang Tuhan membungkusnya dengan masalah dan di dalam masalah itulah terdapat sebuah keindahan.
-unknown-
★★★
"Ngapain kamu di situ?"
Suara serak Evan mengagetkan Annica. Jantungnya seakan copot, bagai orang yang ketahuan sedang mencuri sesuatu. Ia menoleh ke arah lelaki itu dan tatapan mereka saling bertemu. Seketika Annica terkunci oleh tatapan mata Evan.
"Masuk dan tidur kembali!" perintah Evan datar sambil melangkah menuju kasur.
Annica tertunduk diam. Ia pikir Evan peduli, nyatanya lelaki itu tetap sama. Annica menepis harapannya jauh-jauh. Ia menghela napas lalu berjalan menunduk menuju kasur. Ia pun berbaring di samping Evan. Dan berusaha memejamkan mata.
Selama beberapa bulan mereka menikah, perasaan Evan pada Annica tidak berubah. Ia tetap membenci Annica. Baginya, Annica hanya wanita pembawa sial. Meski saat tidur Evan selalu menatap punggung halus Annica yang terlihat menggoda dari balik pakaian tidurnya, Evan tetap bergeming.
Evan sadar jika Annica selalu berusaha menjadi istri yang baik untuknya dengan selalu membuatkannya sarapan walau masakan itu tak pernah dicicipinya. Annica juga selalu menyiapkan pakaian kerjanya. Tapi Evan tak pernah terpengaruh sama sekali. Ia hanya berharap jika yang melakukan semua itu adalah Vannia.
Annica terbangun dengan rasa dingin yang menyelimuti tubuh. Hujan deras terlihat dari jendela kamarnya, Ia mengerti mengapa dirinya terbangun menggigil kedinginan. Gemercik air hujan terdengar semakin kencang menandakan jika hujan tidak akan berhenti dalam waktu dekat.
Annica menoleh ke samping. Mata sayunya bertemu dengan mata madu milik Evan. Selama beberapa saat tatapannya terkunci dengan sorot tajam dan horor lelaki di itu. Ingin rasanya ia memeluk laki-laki yang berbaring di sebelahnya, mencari kehangatan dalam dekapan Evan. Tapi, sepertinya itu tidak akan pernah bisa ia lakukan. Mendapatkan kehangatan dari lelaki itu hanyalah fantasi yang tak akan pernah terwujud.
"Kamu sudah bangun?" ujar Annica saat melihat Evan.
Evan mengerutkan dahi. Pertanyaan macam apa itu? Jelas-jelas dia melihatku sudah bangun masih bertanya.
"Jelas-jelas aku sudah bangun!" jawab Evan dengan nada dingin, tanpa melihat Annica.
Annica menunduk dan berkata setengah berbisik. "Maaf jika aku mengganggu tidurmu. Aku akan keluar dan kamu bisa melanjutkan tidur." Annica lalu buru-buru bangkit dari posisinya. "Aku akan buatkan kamu sarapan," ujar Annica kembali sebelum melangkah keluar kamar.
"Tunggu ... " Panggilan itu membuat Annica menghentikan langkahnya sejenak dan secepat kilat ia menatap Evan.
"Ya?"
"Kamu tidak perlu membuatkanku sarapan!" ujar Evan ketus.
"Bagaimana kalau kubuatkan kopi? Kamu pasti membutuhkan itu," pinta Annica.
"Tidak! Berhenti peduli padaku. Aku tidak membutuhkan semua itu," tegas Evan sambil menatap Annica tajam. Kemarahan terlihat jelas pada tatapannya.
Annica diam. Ia menelan ludah sejenak. "Aku hanya ingin melakukan tugasku sebagai seorang istri," sanggah Annica berusaha tetap tenang.
Evan tersenyum sinis. "Jangan berlebihan. Aku tak pernah menganggapmu demikian."
"Terserah kamu mau menganggapku apa, aku tak peduli. Aku hanya berusaha melakukan apa yang seharusnya kulakukan."
KAMU SEDANG MEMBACA
From Baby to Love
RomanceRomance Dewasa 21+ Kenapa harus menyakiti jika sesakit ini akhirnya. _Evan_