2. Pernikahan

569 35 18
                                    

"Dari sorot matamu, aku tahu ... memang tak pernah ada cinta untukku. Tapi ... keadaanlah yang memaksanya"


_Annica_

★★★

Evan pulang dengan wajah memerah dan napas terengah-engah.  Sesampainya di rumah, ia masuk ke kamar sambil membanting pintu.

Bruakk!!

"Shit!" umpat Evan mengusap kasar wajahnya.

"Mana mungkin aku menikahi wanita sialan itu. Aku nggak pernah mencintainya! Bagaimana dengan Vania?" ujar Evan lirih disertai perasaan marah dan juga bingung.

Ia merebahkan tubuhnya di kasur empuk king size.  Saat hendak memejamkan mata, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Terlihat sosok lelaki paruh baya dengan rahang mengeras menatap tajam dirinya.

"Evan! Tiga hari lagi, kamu harus menikah dengan Annica  putri bungsu keluarga Handoyo," tegas papanya tak terbantahkan.

"Tapi, Pa ..."

"Nggak ada penolakan. Semua sudah siap."

"Aku tidak mencintainya, Pa!" teriak Evan lantang.

"Papa tahu itu. Tapi kamu sudah melakukan kesalahan. Dan harus bertanggung jawab! Karena di keluarga Adittama, tidak ada laki-laki cemen dan brengsek!" tandas sang papa seraya keluar dari kamar. 

Evan mondar-mandir dengan perasaan gusar. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Keputusan papanya sudah mutlak dan ia harus menikahi wanita yang tak pernah dicintainya.

★★★

Di rumah dan kamar yang berbeda ...

Annica menyesali keputusan sebelah pihak keluarganya yang memaksanya menikah dengan Evan. Ia tak pernah menginginkannya. Bahkan untuk memikirkannya saja, ia tak sanggup. Semua orang hanya bisa  menyalahkannya dan tak ingin memahami perasaannya. Ia harus segera menemui Vania dan menjelaskan semuanya.

Annica bergegas berdiri dan berjalan menuju kamar sepupunya itu. Sebelum mengetuk pintu, sayup-sayup ia mendengar  suara seseorang di baliknya. Karena tidak begitu jelas, Annica memutuskan untuk  mengetuknya. Hingga ketukan ketiga pintu tetap tak terbuka.

Di sisi lain, Vania yang mendengar kamarnya diketuk segera mengacak-acak isi kamarnya. Setelah puas dengan hasil kerjanya, ia pun buru-buru beranjak pergi.

Lama berdiri mematung di depan pintu, membuat Annica resah. Ia memutuskan meraih knop pintu dan membukanya.

Ceklek!

Kamar gelap tanpa cahaya. Tangan Annica meraba-raba mencari saklar di ruangan itu.

Klik!

Kamar pun menjadi terang-benderang. Namun alangkah terkejutnya Annica saat melihat betapa berantakannya kamar Vania. Barang-barang  berserakan bak kapal pecah. 

Jantung Annica berasa diremas-remas melihat keadaan itu. Perih dan membuat dadanya sesak. Ia semakin merasa bersalah. Karena orang yang ia sayangi tersakiti. Bukan karena luka fisik melainkan faktor kecewa yang diciptakannya.

Annica menarik napas panjang. Ia berusaha menormalkan rasa pedih di dalam hati. Tak lama berselang, ia pun melangkah mencari sosok Vania.

"Kak Vania ... Kak ... Kakak di mana?" serunya.

Lama tak ada jawaban, Annica pun kembali memanggil sepupunya itu.

"Kak Vania ... aku perlu ngomong sama Kakak! Aku nggak mau Kakak salah paham!" ucap Annica lagi. 

From Baby to LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang