23 Mei 2016
Sepulang sekolah aku harus latihan Tari terlebih dahulu. Tari yang akan dibawakan bersama tim Seni Tari di acara Pelepasan kelas 12. Sebenarnya aku tak masalah, hanya saja aku–juga anggota Seni Tari yang lain sangat kecewa pada pihak panitia.
Acara pelepasan di adakan tanggal 26, yang berarti kami hanya mempunyai waktu latihan tiga hari sebelum acara itu. Untung saja, pelatih kita–Pak Yoko memberi tarian yang mudah dihafal.
Maka mau tak mau, selama tiga hari itu aku harus pulang lebih sore dari biasanya.
Karena dalam eksul Seni Tradisional ada dua sub eksul yaitu Seni Tari dan Seni Musik. Maka, kamu yang menjadi anggota Seni Musik juga harus latihan. Tapi setidaknya tim Seni Musik diberitahu lebih awal dibanding tim Seni Tari.
• • •
24 Mei 2016
Jam pelajaran kali ini tak ada guru. Masih ada satu jam lagi sebelum istirahat untuk sholat dzuhur. Aku memilih untuk tidur. Membuka tas ransel dan mengambil jaket yang ada di dalamnya.
Iya, jaket abu yang kebesaran milik kamu. Aku menggunakan itu agar tak ada teman iseng yang memfotoku saat tertidur–lalu setelah itu di share ke grup kelas. Tidak. Aku memilih untuk menutupi bagian kepala menggunakan jaket.
Baru beberapa menit aku memejamkan mata, terdengar suara berat di sekitar ku. Tawa dan ledekkan terdengar jelas olehku.
Penasaran aku menyinggap jaket yang menutupi kepalaku.Teman laki-laki sedang bercanda di belakang kelas. Di situ ada kamu juga, tertawa bersama yang lainnya.
"Eh, eh, bentar deh, gue ngerasa kenal sama jaket yang dipake Gisya." celetuk Zian saat tak sengaja melihat ke arahku.
Karena memang aku duduk di bangku belakang, otomatis kumpulan anak laki-laki bisa melihat jelas apa yang ada dipundakku.
"Wah! Jaketnya Faiz ya itu?" tanya Gama yang memang mengenal jaket yang ada dipundakku.
"Bukanlah." elakku berniat untuk bercanda dengan mereka.
"Bisa aja lo becanda, Gis."
"Yaelah, gak percaya. Nih liat." aku menunjukkan huruf 'G' yang ada di bagian jaket itu. "Hurufnya aja G. Nah, berarti Gisya." ujarku tanpa sadar.
Mendengar jawabanku, kumpulan anak laki-laki mulai berisik akan godaan-godaan untukku dan Faiz.
"Wadaw, Faiz."
"Eh, tapi kok bisa sih jaket Faiz ada di lo?" tanya Yuda.
"Bisalah. Pengen tau aja lo pada."
"Serah deh, ciee dah Faiz sekarang sama Gisya."
Godaan-godaan makin keluar dari mereka. Dan kamu hanya diam sambil tersenyum. Tak berapa lama adzan dzuhur berkumandang. Anak laki-laki bergegas menuju Mesjid, termasuk kamu.
Kamu berhenti di meja ku. Mengulurkan ponsel ke arahku. "Titip ya."
Aku mengambil ponsel mu. "Udah sholat, ikut dispen kan hari ini?" tanyaku.
Kamu mengangguk. "Kamu juga kan?"
"Iya, sama."
"Sholat dulu ya."
• • •
25 Mei 2016
Latihan terakhir sebelum acara pelepasan besok berlangsung. Hari ini mungkin akan pulang lebih larut dari hari sebelumnya. Kita harus lebih melancarkan gerakan dan menyamakan dengan musik yang dimainkan oleh tim Seni Musik.
Saat tengah latihan, kita diminta untuk berhenti karena ada pemasangan dekorasi untuk besok.
Aku berdiri tak jauh dari kamu yang sedang duduk.
"Sya, pulang bareng Rian ya." katamu yang tiba-tiba saja ada di sampingku.
Aku mengerutkan dahi. "Kok gitu?"
Iya, selama latihan ini aku pulang bersama Faiz. Memang tak ada janji atau kewajiban dia harus mengantarku pulang. Hanya saja, dia yang selalu menyuruhku menunggu di gerbang ketika pulang dan tiba-tiba ada di samping bersama motornya.
"Andre ngajak pulang bareng, sama Rian pulangnya ya. Dia udah mau katanya."
Entah kenapa ada rasa sebal dan sedih saat mendengar ucapan Faiz. Jadi, dia memilih pulang bersama Andre dibanding denganku? Ah iya, memang aku siapanya Faiz? Hingga ingin melarang dia.
"Yaudah, pulang sama Andre aja sana."
Setelah ucapan ku itu, Pak Yoko menyuruh anak Tari untuk melanjutkan latihan.
Aku berjalan menjauhi kamu, yang sepertinya akan mengucapkan sesuatu.
• • •
Pukul setengah tujuh latihan baru selesai. Aku bersama Tiwi dan Karin berjalan keluar Gor.
"Eh ke BC dulu ya. Mau balikin sendal dulu nih." ujar Tiwi.
Kami berjalan menuju BC terlebih dahulu. Aku memilih menunggu di luar. Karin ikut bersama Tiwi. Terdengar samar-samar suara tawa dari arah belakang. Aku menoleh melihat siapa yang tertawa.
Saat tau ternyata anak Seni Musik, aku kembali menoleh ke depan.
"Yuk." suara dan sosok yang sangat aku kenal berdiri di depanku.
"Yuk apaan?" tanyaku karena tak mengerti apa maksudnya.
"Ayo pulang."
Aku mengernyit. "Lah katanya pulang sama Andre."
Faiz menggeleng. " Gak jadi, dia pulang sama Rian."
Jadi lah malam ini aku kembali pulang denganmu. Ditemani dengan canda dan tawa seperti biasa.
"Awas tuh genangan air. Pasti itu bekas hujan tadi deh." ucapku.
"Kayanya. Eh, besok harus dateng pagi kan?"
"Iya."
"Emang kalo subuh angkot udah ada?"
"Ada mungkin."
"Kalo gak ada gimana?"
"Paling minta anter ayah."
Tak ada jawaban darimu. Iseng aku berkata, "Kenapa? Mau jadi supir juga buat nganter besok pagi?"
Kamu terkekeh. "Ya enggak. Nanti kan kalo gak ada angkot kesiangan."
Saat melewati polisi tidur, tiba-tiba aku terdorong ke arah depan yang otomatis kepalaku terbentur helm yang kamu gunakan.
"Aduh!"
"Heh! Yang kebenturkan aku, harusnya aku yang bilang gitu. Lagian kamu kan pake helm." aku tertawa saat melihat Faiz yang mengaduh dan mengusap kepalanya–yang omong-omong menggunakan helm.
"Eh iya lupa." katamu sambil tertawa.
Aku selalu suka saat seperti ini. Tertawa bersamamu dalam perjalanan. Mengabaikan semuanya seolah hanya kita berdua yang ada. Aku harap semua akan seperti ini, tak ada yang berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan [6/6 End]
القصة القصيرة[#63 in trueshortstory - 170718] Tere Liye bilang; "Jangan pernah jatuh cinta saat hujan. Karena ketika besok lusa kamu patah hati, setiap kali hujan turun, kamu akan terkenang dengan kejadian menyakitkan itu." Tapi, nyatanya terlalu banyak kenangan...