Bab 4 | Syuting Terakhir

12K 448 17
                                    

29 Mei 2016

Minggu ini hari terakhir untuk syuting film. Lokasi yang digunakan adalah salah satu pesantren. Saat akan pergi ke sana, kita berencana untuk makan siang terlebih dahulu sambil istirahat. Karena memang sudah waktunya jam makan siang.

Satu jam lebih habis untuk digunakan istirahat. Ketika kita akan berangkat, tiba-tiba saja hujan deras membasahi jalanan. Otomatis kita harus menunggu hingga hujannya reda atau setidaknya mengecil. Hampir setengah jam kita terjebak hujan, dalam hati aku berdo'a agar hujan berhenti. Karena masalahnya tak ada waktu lagi jika harus melakukan syuting.

"Ini kalo hujannya gak berhenti kepaksa harus hujan-hujan nih, gimana?" tanya Gama.

"Ditunggu aja dulu, Gam, kali aja sedikit reda."

Kita menunggu lagi, hingga sepuluh menit kemudian hujan mulai reda. Melihat itu, kita bergegas berangkat takut hujan jadi bertambah deras. Dan saat itu aku ikut bersama Irham, karena kamu tak ada. Kamu tak ikut.

• • •

Sampai di pesantren buru-buru kita mengsetting tempatnya, takut terlalu malam. Ketika sedang melakukan take, beberapa santri di sana melihat ke arah kami, ada juga santri-santri kecil yang menjaili kami dengan menggantungkan tulisan 'Di jual sepeda motor.' di tempat anak laki-laki memarkirkan motornya.

"Gis, ini ada pesan dari Faiz." ucap Qisty.

Iya karena ponsel ku mati, jadi mau tak mau menghubungi Faiz lewat ponsel Qisty.

Faiz : Gak tau deh, bakalan ke sana apa gak.
Faiz : Soalnya masih belum beres acaranya.

Seperti biasa Gama meminta Faiz untuk datang ke tempat syuting. Tapi ya karena hari ini Faiz ada acara, jadi dia tak bisa.

Gisya : Yaudah gpp, tapi Gama nyuruh ke sini.

Faiz : Iya ntar deh, gimana nanti.

Beberapa kali kita melakukan retake, karena cuaca memang sedikit tak mendukung akibat hujan. Juga lokasi yang sedikit ramai.

Tapi setidaknya kita berhasil mendapatkan scene terakhir dari film. Yang ternyata, kita baru selesai syuting pukul enam sore.

"Sholat di sini ya, ntar udah sholat baru pada pulang."

Karena masih berhalangan aku tak ikut ke mushola.

Gisya : Gak jadi nih ke sini?

Faiz : Itu udah beres?

Gisya : Udah sih.

Faiz : Eh, terus ntar kalo aku ke sana ngapain dong.

Gisya : Iya, ngejemputlah. Anterin pulang.

Aku mengetik itu hanya sekedar bercanda saja. Tapi sebagian bisa dikatakan berharap. Berharap Faiz datang lalu menjemput. Karena kasian kalo aku harus ikut lagi bersama Irham. Rumah dia jauh, belum lagi jika harus mengantarkan aku terlebih dahulu. Bisa-bisa dia pulang ke rumah larut malam.

Faiz : Emang di sana gak ada yang kosong?

Gisya : Ada sih, Irham kosong. Tapi ya tau kali rumah dia jauhnya kaya gmn, kasian kalo harus nganterin.

Tak ada balasan dari kamu. Yang sholat pun sudah selesai dan aku masih tak tau harus pulang dengan siapa. Saat semua orang sudah siap pulang, aku masih diam berdiri.

"Loh Gis? Ayo pulang, ikut sama Irham lagi."

"Kasian, rumahnya jauh. Kalo harus nganterin nanti pulangnya malem lagi. Terus kan gak sejalur." tolakku.

Tiba-tiba saja Qisty memanggilku dan menyodorkan ponselnya. Dan entah kenapa aku tersenyum melihat kalimat itu.

Faiz : Tunggu di situ.

Jadi, ku putuskan menunggu. Menunggu ditemani Nila yang memang belum dijemput. Awalnya teman-teman masih memaksaku untuk ikut dengan Irham, namun aku terus menolak dan ku katakan bahwa aku akan dijemput.

Baru lah setelah itu mereka pergi. Aku memang tak bilang bahwa kamu lah yang menjemput ku. Karena tak tau kenapa, aku tak mau mereka tau.

Sepuluh menit kemudian kamu tiba. Dan melihat sosok kamu, Nila yang ada di sampingku berkata, "Oh dijemput sama Faiz toh."

Aku hanya tersenyum.

"Eh, Nil duluan nih gak apa-apa?"

"Iya, gak apa-apa."

"Yaudah, dah. Nil."

Motor putih mu melaju meninggalkan wilayah pesantren. Selalu hangat dan nyaman saat bersama kamu. Walau hawa dingin dan hembusan angin malam yang menusuk. Namun itu selalu terabaikan.

"Makasih loh." ucapku saat sampai di dekat rumah.

"Oke. Tadi lama emang?"

"Makan siang dulu sih terus kejebak hujan jadi lama. Eh iya ikhlas gak ini nganterin?"

"Ikhlas lah, sampe ninggalin saudara yang lagi ada di rumah nih."

"Padahal gak usah sih."

"Yah, nanggung sih. Atau puter balik aja deh yuk. Tinggalin di sana sendirian."

"Canda deh. Btw, sekali lagi makasih yaa!"

"Iya, iya. Pulang dulu ya!"

"Hati-hati."

Hingga akhirnya, malam itu ada satu hal yang aku lupakan. Satu kalimat yang lupa aku katakan pada seseorang. Yang membuat satu ketakutanku terjadi.

Hujan [6/6 End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang