Dua Tahun Setelahnya

291 28 0
                                    

Waktu bergulir, bumi berputar pada porosnya, awan yang menggantung di langit membawa pesan yang berbeda setiap hari baru menjelang, dan musim silih berganti.

Dua tahun sudah berlalu sejak kematian Uzumaki Hinata.

Dan seorang Uzumaki Naruto tak pernah lagi menjadi orang yang sama sejak itu.

Sasuke sadar, bukan posisinya untuk membahagiakan sosok pria muda itu. Dia tahu persis bahwa sumber kebahagiaan sejati untuk Naruto hanya bisa datang dari satu orang; yang mana kehadirannya sudah dihapus dunia dengan kejamnya. Dia yakin bahwa seberapun kerasnya ia mencoba untuk menyenangkan hati Naruto, dia tidak akan pernah bisa menggantikan wanita itu di sisinya.

(Dia bisa apa? Pertama, dia seorang laki-laki seperti Naruto. Kedua, dia seorang suami dari wanita lain dan juga seorang ayah. Daftar itu panjang dan bisa saja tak berujung.)

Meskipun dengan segala bentuk kesadaran akan keterbatasan dirinya sendiri, Sasuke selalu berkeras untuk menemui Naruto beberapa kali tiap minggu; setidaknya ia akan datang sekali seminggu di waktu-waktu sibuk. Walaupun pertemuan mereka tidak pernah berlangsung lama, hanya obrolan singkat yang lebih sering terasa hampa, tapi Sasuke merasa itu tidak menjadi masalah.

(Kunjungan regulernya tidak sepenuhnya dilakukan untuk Naruto sendiri; bukan. Tidak ada yang bisa diperbuatnya untuk mengubah Naruto. Dia datang hanya karena keinginan egoisnya sendiri; ia ingin bertemu dengan pria itu. Menatapnya dan mendengar suaranya sudah cukup.)

Sasuke mengetuk pintu sebuah flat di hadapannya. Dengan sabar ia menunggu. Dari posisinya, ia bisa mendengar suara tumpul dari langkah kaki-kaki kecil yang terburu-buru di balik pintu. Begitu pintu itu dibuka, ia langsung bertemu muka dengan seorang bocah yang kemiripannya dengan Naruto terbilang ekstrim—terkadang cenderung menakutkan bagi Sasuke.

"Paman Sasuke!"

"Halo, Boruto."

"Wah, Paman membawa apa?"

Sasuke mengangkat plastik putih di tangannya ke hadapan anak lelaki itu dan berkata, "Ini makanan favorit Ayahmu, Boruto. Bisa kau berikan padanya?"

Bocah lelaki berumur tujuh tahun itu memekik gembira dan langsung menyambar plastik itu dari tangan Sasuke serta berlari kembali ke dalam. Sasuke mengikutinya dari belakang dengan lebih perlahan. Ia juga menutup pintu di belakangnya serta melepas sepatunya. Ia mengikuti arah suara Boruto berasal, yang menuntunnya ke arah dapur. Dari ambang pintu, ia menyaksikan percakapan singkat antara Ayah dan anak. Tampaknya, Naruto memperbolehkan anaknya untuk memakan ramen—yang Sasuke bawa—meskipun saat itu belum sampai waktunya untuk makan malam. Dia menyuruh Boruto untuk mempersiapkan ramen untuk dirinya dan adiknya; rupanya dia mengajari anaknya untuk memasak beberapa jenis makanan sederhana. Setelah selesai, Naruto menengok ke arah Sasuke dan berjalan ke arahnya; bukan, dia berjalan melewati Sasuke tanpa berhenti. Sasuke memutar tubuhnya dan mengikutinya dari belakang. Naruto membuka pintu depan, Sasuke menutupnya kemudian, dan keduanya berdiri di balik pagar pembatas flat. Apartemen sederhana Naruto berada di lantai dua gedung, dibangun di tengah kompleks perumahan.

Hujan rintik-rintik sedang menyapa Konoha. Awan di langit kelabu pekat, pertanda bahwa rintik hujan hanyalah pembuka ringan untuk hujan yang akan mengguyur lebih deras. Suara air langit yang menyentuh bumi menjadi pengisi kesunyian. Dua lelaki bersandar ke arah pagar pembatas; satunya memandang langit dengan tatapan kosong, sementara satunya memandang sekilas ke arah pria di sampingnya dengan penuh arti.

"Hei, teme," ujar Naruto memecah keheningan. Matanya masih menatap lurus ke langit jauh, entah apa yang ada dalam pikirannya.

"Hn, dobe," jawab Sasuke.

"Apa kau tidak kerepotan untuk selalu datang mengunjungiku? Maksudku, kau orang sibuk, 'kan?" ucap Naruto dengan suara rendah.

Sasuke menghela napas. "Sudah pernah kubilang, 'kan, tidak masalah buatku. Tidak mengganggu jadwalku sama sekali. Tidak apa buatku."

(Aku bisa memandangmu dan mendengarmu begini, sama sekali tak ada masalah dengan itu. Aku egois, aku tahu. Aku kehilangan kontrol penuh akan keinginanku saat ini.)

Naruto kembali berkata, "Apa kau tidak bosan atau merasa lelah? Jarak kantormu dan rumahmu kesini bukan main jauhnya."

(Apa kau tidak menyukai setiap kedatanganku? Apa ini caramu untuk mengusirku secara halus?)

Sasuke menjawab, "Tidak apa. Aku tak keberatan. Aku bisa menemuimu, juga Boruto dan Himawari. Terkadang, aku merasa kesepian."

(Aku kesepian meski aku dikelilingi orang di kantor. Aku kesepian meski aku pulang ke tempat keluargaku juga berada. Aku kesepian walau aku sedang berbicara dengan banyak orang. Aku bahkan merasa kesepian di tengah keramaian.)

Naruto menyeringai tipis, walau ekspresi di wajahnya lebih terlihat seperti topeng dibanding ekspresi diri yang sebenarnya. Ucapnya, "Kalau kau kesepian, kenapa tidak datangi saja Sakura dan Sarada? Dasar teme."

(Hentikan. Berhenti mencegahku menemuimu.)

Sebelum Sasuke sempat memberi jawaban, terdengar suara sesuatu menghantam lantai dari arah dalam, disusul oleh pekikan singkat. Dari suaranya, sepertinya puteri bungsu Naruto. Otomatis sang ayah single parent itu langsung berbalik dan membuka pintu dengan tergesa-gesa, berlari tanpa membalik badannya sekalipun.

Sasuke ikut berbalik, namun tidak ikut beranjak dari tempatnya berdiri. Ia menatap punggung Naruto yang diselimuti baju kaos oranye pucat. Lidahnya serasa pahit menatap sosok pria dewasa itu dari belakang. Saat pria itu hilang dari pandangannya, bahu Sasuke membungkuk lemas, kepalanya tertunduk dalam, air wajahnya berubah. Tirai hujan di belakangnya tiba-tiba bertambah deras tanpa ada peringatan.

...

...

...

...

...

'Maafkan aku, Naruto. Aku tak sanggup untuk meninggalkanmu. Tidak lagi, tidak akan pernah aku mau pergi menjauh darimu. Maafkan aku.'

(Kau ingat, 'kan, Sasuke kecil yang egois dan keras kepala? Dia kembali setelah sekian lama mengalah dan mengurung diri. Sasuke yang ingin melupakanmu sudah tiada, sekarang dia hanya ingin untuk mengingat, mengukir dan melahap setiap detail dari dirimu, menggoreskannya ke dalam ruang memorinya yang paling berharga.)

Mendung MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang