14

1.2K 152 17
                                    

Chapter 14 : Tears


Taylor baru saja hendak melangkah memasuki ruangan kerjanya, saat sebuah suara membuatnya berhenti. Taylor menoleh dan mendapati salah satu karyawati yang pastinya juga bekerja di sini, tapi tak Taylor ketahui namanya, berjalan mendekat dengan wajah yang tak enak. Entahlah. Dia terlihat cemberut. Mungkin sedang bad mood?

"Mr. Malik mencarimu."

Setelah itu, tanpa basa-basi lagi dia melangkah menjauhi Taylor. Taylor menahan nafas dan menghelanya perlahan. Gadis itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Taylor mengumpat. Zayn pasti datang lebih awal dan akan memarahi Taylor karena datang terlambat.

Memasuki ruangan dan meletakkan barang-barang yang dibawanya lalu, gadis berambut pirang diikat ke belakang itu melangkah ke luar ruangan, menuju ke ruangan Zayn yang memang tak begitu jauh dari ruangannya.

Sesampainya di depan pintu ruangan Zayn, Taylor mengetuk sekali dan membukanya begitu saja. Zayn yang semula sibuk membaca koran terbaru, mengangkat wajah dan menatap Taylor lekat. Zayn meletakkan koran yang dibacanya di atas meja.

"Masuk dan duduk."

Taylor menurut. Gadis itu melangkah memasuki ruangan dan mulai duduk di kursi tamu yang berhadapan dengan Zayn. Taylor menundukkan kepala dan memejamkan mata. Sejujurnya, dia sangat butuh istirahat. Walaupun dia tidak bekerja semalaman seorang diri, tetap saja.

"Di mana kau tidur semalam?" Zayn bertanya cepat, matanya menatap fokus gadis berambut pirang di hadapannya.

Taylor yang masih menundukkan kepala menjawab, "Di rumah temanku."

"Pukul berapa kau menyelesaikan pekerjaanmu?"

Taylor menggeleng. "Aku tak ingat. Mungkin pukul sebelas atau dua belas."

Mendengar jawaban Taylor, Zayn berdecak. Pemuda itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi hangat sebelum kembali menatap gadis tersebut. Zayn menarik nafas dan menghelanya perlahan.

"Ibumu menghubungiku. Menanyakan tentangmu. Kau bilang padanya jika kau bersamaku dan faktanya tidak." Zayn mulai menjelaskan. Pemuda itu memejamkan mata sekilas sebelum berkata lagi, "Aku tak bermaksud untuk memintamu bertahan semalaman mengerjakan tugas yang kuberikan. Aku hanya ingin―well, aku tahu aku jahat. Aku hanya ingin membuatmu kesal sehingga, semua ini tak terjadi lagi."

Taylor mengangguk. "Aku mengerti."

"Taylor, dengar. Kau cantik dan menarik. Aku mengaku jika aku menyukaimu. Tapi aku bisa lebih dari sekedar menyukaimu. Kau membuat keadaan semakin sulit. Orangtuamu terlalu mempercayaiku."

Suasana hening seketika. Zayn menunggu Taylor bicara. Perlahan, namun pasti Taylor mengangkat wajah dan Zayn setengah mati terkejut saat wajah gadis itu benar-benar basah oleh air mata. Taylor sesenggukkan dan bibirnya bergetar.

"Ta―Taylor. Shit. Kenapa kau menangis?"

Zayn bangkit dari bangkunya, panik seraya merogoh kantung jasnya dan mengeluarkan sapu tangan. Pria itu berjalan menghampiri Taylor yang menutupi wajahnya sambil terus menangis. Zayn mengelus punggung gadis itu dan menyodorkan sapu tangannya.

"Please, jangan menangis. Kau akan membuat semua orang berpikir jika aku melakukan sesuatu yang buruk kepadamu."

Taylor meraih sapu tangan Zayn untuk menghapus air matanya. "Bagaimana aku bisa tak menangis mendengarmu berkata seperti itu? Apa sangat sulit untuk membuatmu jatuh cinta padaku? Apa aku harus menjadi seperti gadis yang kau cintai itu supaya kau mencintaiku?"

Calling Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang