dua🍃

10 1 0
                                    

'Terkadang. Mereka hanya bisa mengerti tanpa benar-benar memahami'


Koridor sekolah sudah mulai di penuhi oleh siswa SMA pandita. Ada yang bercengkrama, ada pula yang hanya bertegur sapa. Adila terus berjalan menuju kelasnya yang berada di lantai dua.

Kursi di sampingnya masih kosong, mungkin sahabatnya itu masih dalam perjalanan. Adila menjatuhkan bokongnya lalu melepas tas punggungnya.

"Adila" Adila menoleh kebelakang. Seketika amarahnya memuncak melihat wajah so polos milik Bagas.

"Apaan?" ketusnya. Adila masih marah pada Bagas, jika saja kemarin ia menawarinya pulang bersama ia takkan pulang selarut itu.

"Kok jutek gitu sih, jelek tau" Bagas menarik bibirnya keatas hingga membentuk cengiran khas miliknya, mau tak mau Adila terkekeh pelan melihat tingkah Bagas. Mau sebagaimana marah ia pada Bagas, semuanya akan menguap begitu saja saat ia melihat senyuman milik Bagas. Adila juga tak tau mengapa itu terjadi padanya, Tari bahkan sering memarahinya karena gampang sekali di rayu oleh Bagas. Tapi Adila seakan tak mendengar apa yang di katakan Tari.

Adila mengambil buku bersampul coklat dari dalam tasnya lalu menyerahkannya pada Bagas, "mau liat peer kan?"

Bagas mengambilnya, tangannya terulur untuk mengacak-acak rambut Adila, "ke KUA yu, kayaknya udah siap banget di nikahin sama gue"

"Najis ih, geli tau"

"Geli-geli tapi suka kan?" Bagas mengulum senyumnya.

"Semerdeka lo dah" Adila membalikkan badannya, membiarkan Bagas menyalin tugas miliknya.

"Adilaa" suara nyaring terdengar dari arah pintu saat baru saja Adila akan mengambil handphone yang ada di saku rok abu-abu nya.

"Berisik nyet" Bagas menyahut dari belakang.

Tari menghiraukan ucapan Bagas, matanya menatap Adila dengan berbinar senang.

Adila jengah di tatap seperti itu oleh Tari, "kenapa sih?"

"Lo kenapa ga bilang sama gue, kalo kita keterima jadi anggota padus" senyuman di bibirnya hilang. Di gantikan dengan bibir mengerucut kesal.

"Sorry gue lupa" Adila meringis menyadari kesalahannya. Adila benar-benar lupa mengabari ini pada Tari. Setelah kejadian Bagas yang tak menawarinya pulang bersama, lalu pulang dengan sangat larut malam. Adila bahkan melupakan segala hal tentang padus, ia langsung tertidur bahkan tanpa berganti pakaian terlebih dahulu.

Tak lama kerucutan di bibirnya hilang, digantikan dengan senyuman merekah di bibirnya, "gue maafin deh, tapi pulang sekolahnya kita kumpul dulu ya"

Adila mendesah, sebenarnya ia ingin segera pulang lalu tidur bersama guling kesayangannya. Namun berhubung ia merasa bersalah pada Tari, ia harus menuruti apa keinginan sahabatnya itu. Adila menggangguk menyetujui perkataan Tari.


🍃

"Permisi bu, ini buku tugas kelas XI IPS 4" Adira memasang senyuman sepanjang ia masuk dan berdiri di hadapan meja guru paling killer seantero sekolah.

"Ya sudah, simpan saja di sana" Ibu Tina menunjuk ruang kosong di mejanya.

Setelah menyimpan buku seperti yang di perintahkan, Adira pamit. Adira menghela nafas panjang, tangannya menutup pintu kantor dengan perlahan.

Bagas kampret

Bu Tina atau biasa di panggil Ibu Titit oleh Bagas dan gengnya mendadak tidak bisa masuk karena rapat dadakan wali kelas.


'Bugh'

"aww" Adila meringis sambil memegang kepalanya yang berdenyut perih. Penglihatannya menjadi buram, bayangan seseorang yang berlari ke arahnya menjadi hal terakhir yang ia lihat sebelum semuanya menjadi gelap.

🍃

"Makanya kalo jalan itu liat-liat bukannya nyelonong gitu aja"

Sesekali Adila meringis saat merasakan kepalanya berdenyut, bibirnya terus melahap roti yang ada di genggaman tanganya. Ia lapar, perutnya belum di isi dari pagi. Utung saja orang di sampingnya ini mau mengasihaninya dengan memberikan sebungkus roti dan susu kotak rasa coklat.

"Lo juga salah kali, ngapain coba ngelempar kepala gue pake bola basket?" balas Adila sewot, ia tak mau di salahkan begitu saja. Laki-laki di sampingnya lah yang membuat benjolan besar berwarna merah di kepalanya.

"Suara lo kecilin dikit bego, ini lagi di UKS"

"Oh lo tau tatakrama juga ternyata, gue pikir lo cuman tau gimana caranya bikin orang masuk ke rumah sakit" senyuman miring tercetak di bibir Adila. Ia teringat cerita Tari tentang laki laki di sampingnya ini. Laki laki bringas yang mampu membuat siswa SMA masuk Rumah Sakit hanya karna ia tak sengaja menyenggenggol motornya hingga terjatuh.

"Jadi lo pengen gue masukin ke Rumah sakit?" mata Adila membulat mendengar perkataan laki-laki di sampingnya. "Rumah sakit bersalin maksudnya" lanjutnya.

Adila menghela nafas lega. Ia tak bisa membayangkan bagaimana ia harus di bawa ke Rumah Sakit dengan darah yabg bercucuran dari tubuhnya. Adila bergidik ngeri. Tapi seketika ia memandang horor laki laki di hadapannya, apa apaan tadi rumah sakit bersalin sampe mampus juga Adira ogah harus ena ena sama dia. Err kenapa ia berpikiran seperti ini?

Adila turun dari ranjang, membuang bungkusan roti dan susu kotak pada tempat sampah yang berada tepat di samping ranjang. Ia berjalan ke arah pintu. Tangan hangatnya sudah memegang gagang pintu UKS yang dingin.

"Angga?" Adira menoleh kebelakang.

"Apa?"

"Makasih"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 16, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang