Sepagi ini aku terbangun dengan sendirinya, tidak seperti biasanya yang harus dibangunkan oleh sinar matahari yang terik. Setelah sekian menit mata ini terbuka aku tidak juga beranjak, masih tetap pada posisi semula, menikmati sisa-sisa mimpi yang mungkin belum selesai. Sepertinya ada yang mengetuk pintu, sehingga aku terpaksa bangun dan merapikan rambutku, memakai celana dan baju lalu keluar dari kamar. Kubuka pintu perlahan-lahan, seseorang telah berdiri didepan pintu sambil tersenyum padaku.
"Silahkan masuk!" Hanya kata itu yang bisa aku ucapkan untuk 'kata' selanjutnya aku tidak tau. Dia masuk lalu duduk diruang tamu, aku kebelakang lalu mandi tanpa berpamitan pada tamuku terlebih dahulu. Entah berapa lama aku mandi tapi yang jelas cukup lama aku meninggalkannya sendiri tanpa sepatah kata. Setelah aku merapikan diri lalu aku duduk disampingnya.
"Angin apa yang membawamu kemari?" tanyaku lirih.
"Aku rasa angin malam tadi yang mengajakku kesini."
"Ada yang aneh pada dirimu, seharusnya kamu marah dengan perlakuanku semalam," aku melirik kearahnya.
"Sayangnya aku bukan orang yang suka marah, jadi aku tetap mau menemuimu."
"Mel...sebenarnya apa yang kamu inginkan dariku?" tanyaku tanpa basa-basi dan sedikit kaku.
"Aku tidak ingin apa-apa, mungkin hanya ingin mengenalmu lebih jauh."
Untuk sesaat aku dan gadis itu sama-sama terdiam, seakan saling mencari tentang sesuatu yang hilang.
"Apa kamu tidak suka aku datang kesini sepagi ini?" lanjut Imel sambil menatapku redup.
"Suka, hanya saja aku merasa bahwa sesuatu yang kamu cari tidak ada padaku, aku bukan siapa-siapa hanya seorang yang mendekati gila."
"Itu menurut versimu, tapi apakah seperti itu menurut orang lain?"
"Aku rasa ya..."
"Dengan alasan apa kamu mengiyakan pendapat itu?" Imel mengerutkan dahinya.
"Dengan semua yang aku alami."
"Aku rasa bukan itu, ada banyak alasan kenapa kamu suka menyendiri."
Aku terdiam lama, mencari-cari tema baru untuk arah pembicaraanku selanjutnya. Aku paling tidak suka membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi. Lebih indah bila membicarakan nasib bangsa ini, walaupun aku tidak bisa menyumbangkan apa-apa. Tapi setidaknya aku juga memikirkan nasib bangsaku yang gonjang-ganjing. Sekilas kutatap wajahnya yang ayu, ada semacam duka yang terpendam dari matanya yang seakan terselubung embun tipis. Duka yang misterius. Duka lama yang entah karena apa penyebabnya.
"Mel... sebaiknya kita tidak saling membicarakan masalah pribadi, aku kurang menyukai itu."
"Kenapa Mas?"
"Aku tidak tau pasti Mel, tapi yang jelas pembicaraan yang bersifat pribadi membuatku sangat tidak nyaman, terlalu banyak hal-hal yang bersifat privasi, dan sekali lagi aku tidak ingin membicarakannya."
"Apa kamu takut mengenang kisah lamamu?"
"Sayangnya aku tidak ingin menjawabnya." Mungkin aku terlalu kasar, tapi aku memang benar-benar tidak ingin menjawabnya, aku sangat tidak suka orang lain mengusik masa laluku, baik yang indah maupun yang sangat pahit.
"Sorry...itulah aku, terlalu kaku dan egois, tapi aku lebih suka langsung pada inti permasalahan, kalau ingin membicarakan sesuatu dengan senang hati, asal jangan mengusik tentang hal-hal yang bersifat pribadi," ucapku angkuh penuh keegoisan pria.
"Ok...aku tidak akan menanyakan masalahmu yang kamu anggap pribadi, tapi setidaknya ceritakan sedikit tentang jiwamu, agar aku bisa memahamimu atau setidaknya mengerti tentang dirimu."
YOU ARE READING
Sendiri Itu Dingin - a novel by Endik Koeswoyo (FULL)
RomanceSebuah novel romantis yang di tulis oleh Endik Koeswoyo. Dengan gaya tutur surealis ekpresife, cerita cinta ini dikemas dengan berbagai keunikan dan teka teki di dalamnya. Konon novel dengan judul Psikodramtias - Sendiri Itu Dingin adalah karya nov...