Sepertinya aku harus segera mandi, sarapan, lalu pergi ...Tapi setelah mandi aku harus sarapan apa? Dari kemarin pagi baru sepiring nasi yang mengganjal di perutku ini. Aku sepertinya harus ngutang lagi di warung belakang rumah. Ya...mau bagaimana lagi, hanya ada pelayan cantik itu yang mau memberiku makan dengan janji 'nanti ya mbak!'. Setelah sarapan aku menghadap komputer lagi, mulai menulis beberapa kata, menyusunnya menjadi bagian-bagian yang menarik, menggabungkan dari yang kulihat, dari yang kudengar, dari yang kurasakan kemudian menggabungkannya dengan hayalanku setahun yang lalu, sebulan yang lalu, atau barangkali seperempat detik yang lalu. Kubiarkan saja jari-jari ini menelusuri otakku yang kemudian menuangkannya kelayar monitor melalui keyboard. Kulihat di luar sana lalu lintas sangat padat, beberapa kali kudengar klakson dari bus-bus besar yang lelah karena telah menempuh jarak ribuan kilo, bahkan menyeberangi lautan dengan teman setianya pak sopir dan bau keringat kernetnya yang tak asing. Sedetik kemudian aku telah hanyut kedalam dunia maya saat aku membaca lagi tulisan yang baru saja kutulis beberapa menit lalu, menelusuri bagian-bagian kecil yang mungkin kulupakan atau terlupakan dari jari-jariku yang mulai hafal dengan huruf-huruf acak itu.
Saat aku sedang memilah-milah hayalanku, kulihat ada seseorang yang datang, aku menoleh dan melihat kearah pintu.
"Hai...silahkan masuk, tumben mau datang kesini?" Aku menyapa seorang gadis dengan tubuh agak bongsor, kira-kira beratnya sekitar 80 kilo, biarpun sebenarnya aku merasa terganggu tapi aku tetap besikap ramah padanya.
"Lagi bikin apa mas?" ucapnya penuh kata basi.
"Biasa...lagi nggak ada kerjaan, dari pada ngelamun lebih baik baik menuangkan lamunan itu kedalam sini," Aku menunjuk layar monitor yang penuh dengan huruf-huruf yang tertata rapi, kemudian aku mempersilahkan dia duduk dikursi yang ada disampingku.
"Mas, kok nggak dikirim kepenerbit atau majalah, kan bagus mas, bisa dapat uang lagi,"
"Aku lebih suka tulisanku ini dibaca sedikit orang saja, orang-orang tertentu yang mau tau tentang aku atau siapa saja yang bisa membaca, tapi mereka tidak harus mengeluarkan banyak uang untuk membelinya, lagian aku bukan penulis profesional, bukan orang terkenal!"
"Tapi kan... nantinya akan terkenal juga bila diterbitkan," katanya sambil duduk disebuah kursi plastik disampingku. Sebenarnya aku was-was, takut kalau kursi itu tiba-tiba patah tidak mampu menahan berat badannya.
"Menurutku, seorang penulis akan merasa bahagia bila karyanya dihargai, sedangkan untuk menghargainya, tidak harus dengan uang, cukup dengan sedikit senyum dan kritikan," Dalam pikiranku sudah berkata 'pulang kau, kuruskan badanmu dulu lalu kesini lagi'. Alangkah kejamnya pikiranku yang tidak mau menerima gadis itu sebagai temanku, padahal dia juga ingin mempunyai banyak teman. Alangkah kejamnya pikiranku tidak mau memasukkan dia ke dalam lamunanku. Dalam waktu yang singkat itu aku juga sempat berpikir, kenapa di otakku hanya ada gadis cantik, pemuda tampan sebagai tokoh ciptaanku, bukan dia gadis gemuk dengan wajah pas-pasan, kulit pas-passan, rambut agak kurang pas dan bla...bla...
"Kenapa mas?" tanyanya tiba-tiba.
"Mencari inspirasi," aku berusaha tersenyum walau sebenarnya kaget, aku merasa agak kurang enak. Jangan-jangan dia tau apa yang kupikirkan tentang dia. Aku seakan marah pada otakku yang agak tidak singkron dengan ragaku, tapi mau apa lagi... itu sudah terjadi dan aku tidak bisa mengulangnya lagi. Akupun tidak mau membuatnya sakit hati, walau dari tadi aku menjawab semua pertanyaannya dengan agak ketus dan tanpa kupikirkan. Walau begitu perasaanku tetap tidak enak, lalu aku tersenyum padanya lagi sambil memasang senyum termanis.
"Nen...mau minum apa, panas, dingin, atau yang anget?"
"Ngak usah mas, baru saja minum tadi disebelah"
Aku harus ngomong apa lagi, memandangnya aku sungguh tidak nyaman, kemudian kulihat dia sedang mengamati coretanku didinding. Walau menurutku itu 'lukisan' mungkin menurut versi orang lain itu adalah tumpahan cat. Lagi-lagi aku memperhatikan tubuhnya yang 'big size' itu, namun cepat-cepat aku mengalihkan perhatianku pada layar monitor yang sejak tadi sudah menungguku.
"Mas...malam minggu ada acara nggak?"
Aku kaget setengah mati. Apa ya yang dia inginkan dariku, apa dia tidak melihat bodynya itu? Apa dia mau mengajakku untuk jalan-jalan di mall dan menggandengku dengan mesra, dan orang-orang akan berkata "oh...mungkin dia itu gigolo baru" dan aku yakin yang mereka maksud gigolo itu adalah aku, bagaimana tidak, gadis yang kupanggil Nen ini, wajahnya sudah dua puluh tujuan walau sebenarnya usianya belum tujuhbelas. Aku tidak menjawab pertanyaa itu, aku hanya diam...
"Mas...ada acara nggak?" tanyanya lagi.
"Sepertinya aku harus pergi kesuatu tempat yang tidak kamu sukai untuk malam minggu nanti, sebuah tempat yang penuh kegilaan, penuh sesuatu yang maya dan...penuh lelaki-lelaki yang tidak mau mengenal wanita," kataku sekenanya.
"Dimana mas...? Ucapnya lirih penuh tanda putus asa.
"Ta...disuatu tempat rahasia dimana hanya kami yang tau, tempat rahasia untuk menuangkan ide-ide gila yang terpendam. Juga kadang-kadang sebuah tempat yang jauh dari bayangan orang-orang sepertimu," aku melirik kearahnya, mudah-mudahan dia tidak melanjutkan pertanyaannya dan berhenti sampai disitu saja, karena aku tidak mau lagi harus meneruskan tempat hayalanku itu, aku sudah bingung mau menjelaskan apa lagi, atau memang aku begitu egois tidak memberi kesempatan padanya untuk sekedar jalan-jalan dengan pria "tampan" sepertiku, walau tampan yang kumaksud adalah ketampanan 'individu yang demokratis' atau lebih jelasnya lagi itu adalah pujian untuk diriku oleh diriku. Dari raut wajahnya aku tau dia akan bertanya lagi dan aku akan mengalah pada versi ini, biarlah aku akan menjadi apa nanti?
"Mas aku ada perlu denganmu malam minggu ini, pleace ya mas!! Nggak lama kok, paling nyampek jam sembilan, soalnya aku mau ngajak Mas kepesta temanku," ucapannya sungguh dengan nada pengharapan welas asih dariku.
"Pesta????????" aku tersentak.
Pesta katanya...Wah jadi apa nanti aku disana, jadi bahan tertawaan teman-temannya? Jadi bahan gosip anak-anak gedongan sesusianya dan aku bisa mati berdiri sebelum sempat menikmati hidangan pesta orang kaya.
"Iya...Mas, cuma pesta ulang tahun sahabatku kok,mau ya Mas,"
Dalam hatiku aku berkata "tidak" namun aku kasihan melihat wajahnya yang memelas, aku juga merasakan tangannya berkeringat saat memegang lenganku dan akirnya..."Tapi Nen...aku nggak punya baju pesta, aku nggak punya minyak wangi yang sesuai dengan aroma teman-temanmu yang kaya raya itu, aku juga tidak punya bla...bla..."
"Santai saja, biarpun acaranya agak resmi, mereka tidak akan menanyakan dari mana asalmu nanti, mereka juga tidak akan menanyakan tentang siapa kamu? mereka sudah tau itu semua," ucapnya girang.
"Tau semua, memang mereka siapa? Apa aku mengenal mereka?" aku dibuatnya semakin penasaan.
"Tidak secara langsung, tapi diantara mereka banyak yang telah membaca cerpen dan novel 'indie' mu itu Mas!"
Aku masih belum bisa mengerti apa yang akan dia lakukan selanjutnya, tapi akirnya. "Iya deh...tapi jangan merasa malu bila berjalan denganku nanti ya!"
Dia tersenyum lalu pamit pulang, aku hanya mengumpat dalam hati sambil bertanya pada angin. Kenapa bukan sia anu yang seksi, bukan si anu yang cantik, bukan si anu yang ah...ah...tapi ya...sudahlah, dia juga tidak apa-apa walau aku harus mengubah wajahku menjadi poster yang terus tersenyum selamanya, walau aku harus dirobek-robek pada saatnya nanti.
* * *
YOU ARE READING
Sendiri Itu Dingin - a novel by Endik Koeswoyo (FULL)
RomanceSebuah novel romantis yang di tulis oleh Endik Koeswoyo. Dengan gaya tutur surealis ekpresife, cerita cinta ini dikemas dengan berbagai keunikan dan teka teki di dalamnya. Konon novel dengan judul Psikodramtias - Sendiri Itu Dingin adalah karya nov...