BAB - 13 - SENDIRI ITU DINGIN

113 4 0
                                    


Aku duduk pada deretan paling depan diantara bangku yang berjajar di ruang tunggu bandara. Sepertinya mataku ini penuh dengan air hangat, tapi aku sangat malu untuk menumpahkannya. Kulihat gadis yang duduk disampingku itu tersenyum saat aku menatapnya, kupegang dengan erat tangannya lalu kuletakkan didadaku. Aku tau senyumnya adalah senyum yang sangat dipaksakan, aku juga tau bahwa sebentar lagi dia akan menangis saat aku melambaikan tangan. Kami terdiam dan hanya suara detak jantung kami yang seakan ber-irama semakin kencang. Akankah kepergiannya kali ini membuatku benar-benar gila? Setelah sekian tahun takpernah berjumpa tapi kini kami bersama dan itu sebuah kebahagian ataukah sebuah kepedihan yang terpendam dari kisah kami yang terpenggal?

"Mas...aku harus berangkat."

Aku hanya berdiri tanpa menjawab kata-katanya, tanganku seakan kaku untuk melepaskan pegangan tangannya. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang terjadi, dengan apa yang akan terjadi nanti dan dengan apa yang sudah terjadi, aku seperti mengalami mimpi yang sangat pedih. Benakku ini seakan melayang jauh entah kemana? Berputar-putar lalu jatuh lagi diwajahnya yang ayu itu sebelum kemudian benar-benar jatuh kelantai. Kakiku seakan terpaku saat dia memelukku, menciumku dan membalikkan tubuhnya lalu melangkah tanpa menoleh.

"Dek..."

Dia berhenti mendengar panggilanku, lalu aku menghampirinya, memegang bahunya dan mencium keningnya.

"Selamat jalan,'' ucapku lirih dengan nada berat.

Dia mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tasnya, memberikankannya padaku.

"Ini buatmu, bukalah bila nanti sudah sampai dirumah!"

Aku melihat ada air mata yang mengalir diantara pipinya, aku mengusapnya dan mengecup keningnya sekali lagi, aku mengamatinya sampai dia benar-benar menghilang saat masuk kedalam pesawat, bahkan setelah dia benar-benar terbang bersama halusinasiku dan suara yang menderu itu aku tetap berdiri terpaku. Kini dia benar-benar pergi. Entah berapa lama aku berdiri ditempat itu.

Kini aku sudah berjalan dalam kesendirianku menelusuri rel kereta api yang tak pernah berujung, memegang sebuah kotak yang berwarna biru dengan pita warna merah.

* * *

Setelah sampai dirumah aku merebahkan tubuhku yang lunglai ini keatas ranjang, ingin segera membuka kotak yang dari tadi berada dipelukanku. Saat aku mulai membuka bungkusnya, aku teringat dengan sebuah bungkusan dalam plastik yang pernah diberikan oleh seseorang yang tidak kukenal ditaman kota sekitar Tiga bulan yang lalu. Kubuka lemari pakaianku dan aku menemukan plastik itu diantara baju-baju yang tersusun tak-rapi. Kini aku dihadapkan pada dua bungkusan yang jauh berbeda, satu dibungkus sangat rapi, yang satunya lagi dibingkus dengan plastik, satu dari seseorang yang sangat kukenal walau itu dulu dan satunya lagi dari seseorang tidak pernah kukenal sebelumnya.

Aku membuka bungkusan plastik itu terlebih dahulu, didalamnya ada sesuatu tapi masih dibungkus dengan kertas koran. Anehnya Koran itu bertulisan sebuah bom mobil meledak di Jakarta, aku sempat ragu untuk membukanya karena aku teringat akan cerita lelaki itu yang selalu membicarakan tentang sebuah ledakan.Tapi aku yakin bungkusan itu bukan bom seperti yang baru saja terlintas di otakku. Kubuka dan aku sangat terkejut dengan apa yang aku lihat, setumpuk uang ada dibalik kertas koran itu, ada selembar kertas putih dengan beberapa coretan dan aku membacanya.

'Sepertinya kamu akan mengalami hal yang sangat sulit bila kamu membuka bungkusan ini setelah kamu tiba dirumahmu'

Aku belum paham tentang apa yang dituliskannya, lalu aku membuka bungkusan yang satunya lagi. Kotak biru dari Am. Lagi-lagi aku mengalami hal yang sama yaitu terkejut dan kaget, 'uang' itu yang ada didalam bungkusan. Lalu aku juga menemukan secarik kertas.

Sendiri Itu Dingin - a novel by Endik Koeswoyo (FULL)Where stories live. Discover now