BAB - 6 - SENDIRI ITU DINGIN

56 2 0
                                    

Sepertinya aku berada dialam mimpi sejak dia memelukku sampai sekarang. Aku dan dia belum berbicara sepatah katapun walau sekarang aku dan dia telah berada di atas ranjang, dia menangis dipelukanku tangannya memegang bahuku dengan erat, aku tersenyum melihat apa yang aku alami. Aku benar-benar tidak menyangka bisa bertemu dengannya lagi setelah Tujuh tahun.

"Dek..." itulah panggilan sayangku padanya.

'Adek' sebuah kata yang singkat tapi mengandung banyak arti menjadi kata pembuka. Dia tersenyum malu saat aku mengusap air matanya, kali ini dia benar-benar berada dipuncak kemanjaan, saat aku membelai rambutnya, saat aku mencium keningnya wajahnya memerah. Senyumnya manis sekali. Seakan aku ingin membunuhnya saja biar dia tidak dimiliki orang lain.

"Apa boleh aku bertanya sesuatu padamu?" Dia tidak menjawab pertanyaanku, hanya sebuah anggukan kecil yang itu artinya 'ya', "apa yang membawamu ketempat ini?'' lanjutku lirih.

"Lalu apa pula yang membawamu ketempat ini?" pertanyaan itu adalah kata pertamanya. Lembut, menusuk sejuk ketelinga lalu menghujam hatiku. Sama, tidak berubah.

"Mungkin rasa rinduku padamu,'' kataku pasti dan penuh keyakinan.

Lagi-lagi dia memelukku dengan erat, mungkin ini adalah puncak kebahagiaan yang pernah aku rasakan , damai...

"Aku tidak menyangka kita bisa bertemu lagi Mas..." Amalia membenamkan kepalanya lebih hangat kedadaku.

"Tapi aku selalu berharap bisa melihatmu walau sesaat, sorry aku tidak ingin merayumu aku hanya ingin sedikit berbagi tentang apa yang aku rasakan," kataku sambil membelai rambutnya sekali lagi seakan tak akan pernah bosan.

"Tanpa harus merayuku aku akan melakukan apapun yang kamu mau, dan aku juga tidak akan marah dengan semua ucapanmu. Walau sebenarnya aku ingin memaki-makimu, ingin marah bahkan ingin membunuhmu jika ingat semua kenangan kita dulu. Tapi saat kulihat senyummu aku jadi lupa akan semua yang aku rencanakan, aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa selain memelukmu." Dia mendongak, menatap kearahku.

"Apa itu jujur?" aku sedikit ragu.

"Lebih dari sebuah kejujuran," katanya seperti biasa, sambil tersenyum.

"Dimana suamimu?" tanyaku penasaran.

"Dia sedang pergi keluar negeri," jawabnya tampa kecewa dengan pertanyaanku.

"Apa kamu bahagia bersamanya?" lanjutku tanpa memperdulikan perasaannya.

"Pertama aku tidak merasakan apapun, tapi lama-kelamaan aku sedikit bahagia," jawabnya jujur.

Aku diam sesaat, "apa kamu sudah mempunyai anak?" aku tersenyum untuk mencairkan suasana.

"Sudah, dia sudah besar," jawab Am pelan.

"Dimana dia sekarang?" tanyaku lagi penuh rasa penasaran.

"Sementara ini dia ikut kakeknya, orang tuaku sangat menyayangi dia melebihi rasa sayang mereka padaku."

"Apa dia mirip dengan ku?" aku tersenyum dengan pertanyaan sekenanya itu.

"Sangat, aku juga heran kenapa dia mirip denganmu, atau mungkin perasaanku saja yang memaksakan wajahnya sama denganmu?"

Kami berdua berbicara panjang lebar tentang keluarganya, tentang suaminya, juga sedikit mengenang masa indah kami dulu.

"Dek...sepertinya aku harus pulang dulu, sudah terlalu malam, tidak baik aku berada disini," ucapku suatu ketika saat jam dinding menunjukkan angak 9 malam.

"Apa? Mau pulang? Enak saja, aku jauh-jauh datang kesini hanya untuk menemuimu, setelah bertemu sebentar kamu mau pulang Mas? Ternyata kamu masih sama ya? Egois!" hardiknya manja.

"Iya, besokkan masih ada waktu untuk kita bertemu," ucapku mengalah.

"Tidak Mas, aku tidak ingin melewatkan malam ini tanpamu, aku ingin tidur dibelaianmu, aku ingin saat mataku terbuka kamu masih ada disini dan mengecup keningku seperti dulu!"

"Tapi itu tidak mungkin, kamu sudah berkeluarga," ucapku lirih.

"Tidak ada yang tidak mungkin, ditempat ini tak seorangpun yang mengenalku," Am memelukku erat, seakan mengunciku agar aku tidak lepas dari dekapannya.

"Tapi..." gumanku pelan.

"Apa kamu sudah tidak menyukai aku lagi?"

"Bukan," sergahku cepat.

"Lalu?'

"Aku sangat menyukaimu lebih dari apapun, tapi keadaan tidak memungkinkan untuk kita bisa bersama," aku sedikit diplomatis untuk menetang kehendak hatiku sendiri.

"Aku tidak berharap atau mimintamu untuk bersamaku selamanya, aku tau aku sudah berkeluarga, tapi hati dan perasaanku selalu ada untukmu. Selalu bersamamu entah sampai kapan!" katanya lirih penuh rasa tulus.

"Tapi..." hanya itu yang bisa aku ucapkan.

"Sudahlah mas, aku hanya memintamu untuk waktu yang tidak lama."

Sebenarnya hatiku ingin selalu bersamanya, namun dia kini telah berkeluarga, mempunyai seorang anak, dan aku, ah...aku tidak tau harus berbuat apa. Aku merasa sangat bahagia bisa memeluknya malam ini.

"Masih ingin meninggalkanku?" tanyanya sesaat lagi.

"Menurutmu?" aku balik beranya dan tersenyum.

"Tidak!" katanya pasti.

Wanita cantik itu memelukku dengan erat sekali lagi, aku hanya bisa mengamati gerai rambutnya, memandang bibirnya yang merekah lalu melumatnya, sebelum kami benar-benar larut ke alam maya yang penuh dengan keindahan, bercumbu lalu terlelap kealam mimpi masing-masing.

Sendiri Itu Dingin - a novel by Endik Koeswoyo (FULL)Where stories live. Discover now