PROLOG

9.8K 509 0
                                    

Bulan..Bintang..dan Langit

Langit tidak berbintang malam ini, bulanpun tak nampak. Jalanan perumahan tampak lengang padahal waktu belum juga menunjuk angka delapan. Luna melangkah cepat, bukan karena ketakutan tapi ada sesuatu yang sedang sekuat tenaga ia coba tahan. Ia bahkan tak peduli dengan gonggongan Bumi, si Labrador hitam menyebalkan milik Tante Rien, tetangga rumahnya. Kedua tangannya mengepal kencang, air matanya menggenang, bibirnya ia gigit kuat kuat, napasnya ia tarik dengan berat, kerongkongannya bergerak naik turun dengan cepat. Kepalanya sedikit ia tengadahkan mencoba untuk tidak menangis. Ia tidak boleh cengeng. Ia harus tegar seperti yang ia perlihatkan di depan Bintang tadi.

Setibanya di kamar, Luna menjatuhkan dirinya di ranjang, menutup kepalanya dengan batal dan membiarkan perlahan air matanya turun membasahi wajahnya. Ia sudah menyangka kalau Bintang sama sekali tidak punya perasaan yang sama sepertinya. Luna ingin sekali merelakan perasaan ini, merelakan ia pergi bersama waktu, memudar karena jarak, dan mati karena benci. Tapi itu tidak bisa, karena waktu terus menghadirkan sosoknya, karena jarak tak pernah terbentang, dan benci itu tak bisa tumbuh. Luna hanya bisa menangis dan terus menangis, menghabiskan air matanya agar tak ada lagi tangisan esok hari, saat matahari terbit, tapi tetap saja pertanyaan-pertanyaan itu akan muncul, "Kenapa harus Tara?"

DEAR...   [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang