BAB 1

7.2K 433 2
                                    

Luna menggigit bibirnya perlahan, langkahnya sedikit ia seret, beberapa kali ia berhenti agar mengurangi rasa sakit di kakinya. Desah kecil tercipta dari bibirnya saat ia memaksa untuk tetap melangkah dengan kecepatan yang ditambah.

"Luna! Jalannya jangan kayak putri keraton gitu deh! Cepetan bisa dikutuk kita sama Sheila kalo telat!" Suara soprano Tara terdengar berkumandang di sepanjang koridor. Untung sudah sore dan bukan jam kuliah jadi suara Tara yang sudah mencapai 5 oktaf itu tidak menjadi pusat perhatian. Koridor sepi. Luna hanya membalas teriakan Tara dengan ekspresinya menahan perih dan sepertinya semakin bertambah perih mendengar suara Tara yang tajam menusuk itu.

"Makanya nek, kalo beli sepatu yang mahalan dikit donk! Biar tuh kaki nggak lecet-lecet." Omel Tara lagi dengan tampang kesal saat Luna tinggal berjarak setengah meter. Tampang Luna terlihat memerah, air matanya sedikit menggenang, kelihatan sekali kalau lecet di kakinya semakin parah.

"Sakit banget Ra." Luna setengah menunduk dan melepas sepatu model peep toe yang baru dia beli kemarin di sebuah butik murah seharga 35 ribu. Tangannya mengusap-usap bagian atas tumitnya yang terlihat merah dan mulai mengelupas kulitnya. Tara melotot setengah bergidik ngeri.

"Ya ampun Luna! Lo kayak orang kekuarangan duit aja sih, beli sepatu yang agak mahalan dikit kenapa?" Tara kembali mengomel.

"Ssshh! Bawel! Masih banyak orang kekurangan di luar sana, masih banyak yang butuh duit buat makan, masak untuk sebuah sepatu yang nggak bisa dimakan kita harus buang-buang duit." Balas Luna asal yang penting bisa menangkal omelan sang ratu comel, Tara. Dia tampak menyelipkan lipatan tisu diantara sisi sepatu bagian dalam dan bagian tumitnya yang lecet. Wajahnya kembali meringis menahan perih.

"Berani-berani lo nasihatin gue ya! Udah berapa pasang sepatu dan tas murah yang numpuk di kamar lo? Yang sekali lo pakai langsung rusak dan bikin kaki lo lecet? Bukannya itu sebuah pemborosan?" nada suara Tara meninggi dan memenuhi seisi koridor kampus.

"Udah ah, aku ini yang punya duit. Kamu nggak rugi juga kok." Luna manyun sambil mengikuti langkah Tara dengan berjalan setengah terpincang.

"Heh, justru gara-gara sepatu lo yang murahan itu lo malah bikin teman lo rugi. Kaki lo lecet, lo jadi susah jalan dan sekarang lo bakalan bikin si Sheila nyap-nyap karena kehilangan duit 150 rebu kalau kita nggak secepatnya nyampe di 21." Tara berkata setengah emosi dan tanpa jeda. Dia memang paling kesal kalau Luna mulai menciptakan sejuta alasan untuk menangkal setiap ucapannya.

"Telat dikit kan nggak apa-apa Ra!" Kali ini Luna setengah berlari dengan wajah meringis mengekor Tara yang langkahnya semakin panjang menuju parkiran kampus.

"Lo kayak nggak tahu Sheila aja. Dia mana mau masuk bioskop kalau telat. Najis tralala deh buat dia. Dia lebih memilih batal nonton dan kehilangan duit daripada kehilangan beberapa menit awal cerita dan jadi omelan penonton lain karena mengganggu. Cepetan!" Tara menoleh dan melotot marah pada Luna.

"Iya-iya, tapi singgah ke kos ganti sandal ya." Pinta Luna hati-hati, takut Tara menyalak lagi.

"Pokoknya gue nggak mau tahu sepatu gue yang kemarin itu lu harus terima, nggak usah cari alasan!"

"Nggak ah, Ra. Itu bukannya masih baru banget, kan baru dibeli Mbak Sarah dari Hongkong." Luna menggeleng cepat.

"Iya gue baru pake sekali tapi sepatu itu bukan gaya gue. Makanya gue nggak suka." Ucap Tara enteng. Beginilah kalau bicara dengan Tara yang memang berasal dari keluarga kaya raya.

Tara anak bungsu dari tiga bersaudara. Papanya punya perusahaan properti cukup besar di Yogya, Mamanya seorang dokter yang memilih buka praktek di rumah karena tidak mau meninggalkan Tara sendirian. Kakaknya yang pertama, Mbak Sarah, bekerja di Deplu dan sering melanglang dari satu Negara ke Negara lain, ini yang membuat Tara selalu punya stock mata uang Negara asing, dan juga selalu mendapat oleh-oleh dari setiap Negara yang pernah didatangi Mbak Sarah. Dan kakaknya yang satu lagi, Mas Robi, punya perusahaan EO di Jakarta yang lumayan sukses. Tara memang beruntung, dia bisa memilih di Negara mana saja untuk kuliah, tapi karena dia anak bungsu dan tidak bisa pisah jauh dari mamanya, dia lebih memilih kuliah di Yogya meskipun pernah mencoba hidup mandiri saat SMA di Jakarta.

DEAR...   [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang