Pintu kamarku terbuka dan kulihat ibuku dengan mengenakan gaun putih panjangnya tampak terharu melihatku yang sudah berpakaian pengantin walau wajah dan rambutku masih belum dirias. Ini masih pagi, dan resepsi pernikahan kami masih lama berlangsungnya. Aku tersenyum melihat ibuku. Dia mengangkat gaunnya sedikit supaya tidak tersandung lalu duduk disebelahku.
“ Aku sehabis menemui Justin…” kata ibuku
“ Bagaimana rupanya?”
“ Dia baik… seperti biasa…” katanya. Aku mengangguk. Sesekali aku melirik keponselku. Masih tidak ada pesan atau chat dari austin sedikitpun. Ibuku sepertinya tahu aku sedang memikirkan hal lain.
“ Belum ada kabar dari Austin?” saat ibuku bertanya entah kenapa aku menjadi sedih sekali, aku berusaha menahan air mataku. Aku menghela nafas tersendat-sendat.
“kau tahu dia dimana?” tanya ibuku. Aku juga menggeleng. Semenjak Justin melamarku dan aku memberitahunya, austin langsung pamit untuk pergi- tanpa memberitahu arah tujuannya. Terakhir dia memberi kabar lewat telepon kalau dia sedang di luar bersama dengan perempuan dan setahuku mereka sudah menikah setahun yang lalu- dan Austin mengabarkan kalau mereka sudah menikah sebulan setelah mereka menikah. Sepertinya dia tidak mau aku datang. Kami hanya berteleponan dan saling memberi pesan singkat hanya untuk mengabari kabar satu sama lain. Terakhir aku meneleponnya saat aku memberitahukan bahwa aku akan menikah dengan Justin, dia tidak berbicara apa-apa saat itu, dan sampai hari H-nya juga dia tidak bilang apa-apa.
“ Mungkin kalau kau ingin mengabarkannya, coba telepon…” kata ibuku. Aku menunduk memandangi layar ponselku. Aku menggeleng pelan. Aku tidak mengerti kenapa aku bisa sampai segelisah ini austin tidak memberiku kabar apa dia akan datang nanti. Padahal yang paling penting sekarang adalah aku tampil cantik dan senang.
“ Aku baik-baik saja…” gumamku pelan. Ibuku merapihkan rambutku lalu mendekatkan duduknya kearahku. Kami sama sama menatap layar ponselku yang kosong.
“ Kau tahu- kalau kau merasa harus berbicara dengan austin sebelum kau akan menikah, tidak ada salahnya..” kata ibuku. Aku menangkap nada tidak enak pada cara ibuku berbicara.
“ Apa maksud ibu?” tanyaku. Ibuku menggeleng pelan. “bu, ayo bicara..” aku mendesak ibuku untuk bicara karena aku tahu kalau ibuku yang bilang atau punya pikiran apapun ada kemungkinan besar dia ada benarnya.
“ sayang, kau sedih sekali- maksudku- benar benar sedih sekali austin tidak memberimu kabar…” dia memulai bicara. “kau yakin, kau hanya ingin dia datang dan duduk melihatmu menikah bersama justin?” tanya ibuku. Aku mengerutkan dahiku.
“ yeah…” jawabku. “memang apalagi yang aku mau?” ibuku mengangkat bahu
“ entahlah..” ujarnya, “hubungan kalian sudah sangat dekat.. mungkin lebih dari sekedar sahabat..”
“ sahabat baik, bu..” ralatku
“ kau yakin?” aku melotot. Ibuku ini kenapa sih! Dia malah menghantamku dengan pertanyaan yang membuatku berpikir dihari pernikahanku. PERNIKAHANKU YANG SEBENTAR LAGI HANYA MENUNGGU JAM!
“ibu!” ujarku, ibuku menenangkanku dan meremas tanganku pelan.
“ austin selalu baik padamu- dia selalu menyayangimu, kau yang bilang sendiri kan kalian seperti…”
“ sepasang sepatu..” aku terkekeh mengingatnya. Austin sendiri yang bilang seperti itu. Aku melamun teringat semua yang aku lakukan bersamanya. Aku melamun beberapa saat sambil menatap kosong kearah pintu kamar tidur kami lalu aku tersadar. Aku tidak boleh memikirkannya! Aku dengan Justin sekarang. Aku dengan Justin.
“ mungkin kali ini aku harus sendirian… sepatu juga bisa rusak kan?” ujarku
“ kau dan austin adalah sepatu yang berbeda..” ibuku berkata lagi dan membuatku galau.
“ aku bukan membuatmu pusing atau apa, Haley- yang aku ingin coba katakan adalah..” dia mendekatkan wajahnya kepadaku. “telepon austin… minta untuk datang kalau kau memang ingin melihatnya dihari bahagiamu… kalau dia menolak, barulah kau bisa yakin… kau akan menikahi justin..”
“ ibu, aku memang menikahi Justin…” aku berseru
“ kalau begitu kenapa kau lebih menyibukkan dirimu khawatir dengan Austin?” tanyanya lembut. Aku tidak bisa menjawab.
“ kau dan justin belum bertemu sejak tadi malam, dan sampai detik ini- apa kalian sudah saling menelepon?” tanyanya. Pertanyaannya benar-benar menghantamku didada. Aku belum. Sama sekali aku tidak menelepon ataupun mengirim pesan kepadanya, begitu juga dengan Justin. Barulah aku sadar- dan pikiran ini membuatku takut. Sebelum aku membuka mulut, pintu kamarku dibuka dan datanglah kedua wanita paruh baya yang kukenal sebagai penata rias rambut dan wajahku. Ibuku menepuk pahaku lalu mengangkat bawah gaunnya sedikit.
“ aku keluar dulu, sayang…” katanya sambil mengecup pipiku lalu berjalan keluar. Kedua wanita paruh baya itu mengeluarkan semua peralatan dari kotak dan tas yang dibawanya di meja rias.
“ ayo, nona- kau harus tampil cantik hari ini…” ujarnya menyuruhku kesana. Aku tersenyum dan bangkit berdiri, duduk dikursi rias.
“ mempelai lelakinya sudah tampan sekali- kau pasti tidak sabar bertemu dengannya…” salah satu perempuan itu berkata sambil mulai menyisir rambutku sementara satunya lagi masih sibuk mengeluarkan peralatan.
“ Yeah..” aku tertawa hambar sambil menatap pantulan diriku yang pucat dicermin- pikiranku melayang kemana-mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Pair Of Shoes
RomanceBerlatar alur flash-back antara acara pernikahan Haley dan juga kehidupan lamanya, membuatnya bimbang- benarkah dia menikahi pria yang tepat dan benar-benar dicintai olehnya?