Drama

45 15 18
                                    

Sebelumnya author memohon maaf yang sebesar-besarnya atas typo yang bertebaran dengan indahnya pada chapter sebelum ini.Tapi udah di revisi kok habis liat komennya reader2. Yang chapter ini masih typokah?

Happy Reading! 😉


Kejadian kemarin masih berlalu lalang di fikiranku, tentang bagaimana dia selalu mencoba untuk berada di sekitarku.

Yang selalu menjadi pertanyaanku, apa benar dia menyukaiku?

Membayangkannya saja ntah kenapa sangat mustahil bagiku. Memangnya apa yang pernah ku lakukan padanya?

Ataukah dia hanya tertarik? Oh ayolah... memangnya apa yang bisa dilihat dari dirimu, Ulfa!!

Bahkan hatiku pun menentangnya.
Hhh...

"Gue bahkan ga habis fikir apa yang di lihat Kafka dari lo" ucap Bima menatap diriku dari atas ke bawah berulang kali lalu mengedikkan bahunya mencela.

Sedangkan Redzi hanya tertawa mendengar ucapan Bima, mungkin membenarkan? Dengan mengerucutkan bibir aku beringsut ke arah Garda yang tengah menyumpal telinganya dengan headsetnya. Ia tersenyum ketika aku beringsut mendekat padanya.

"Gar, emang gue itu gimana sih menurut lo?" tanyaku padanya. Garda menaikkan kedua alisnya lalu terkekeh pelan.

"hm... menurut gue sih, lo itu cantik, tapi cuek atas penampilan lo. Over all sih, lo cakep" ucap Garda yang langsung ku anggap itu sebagai pujian. Aku tersenyum-senyum gaje dengan pipi menghangat sambil melirik pada Bima yang menggeleng gelengkan kepalanya tak percaya mendengar ucapan Garda.

"Jangan besar kepala, Fa. Garda bilang gitu biar lo nggak mewek aja sama dia. Gue yang liat aja risih" sinis Bima membuatku sewot sendiri.

Kadang aku bertanya juga pada diriku sendiri kenapa aku bisa sahabatan sama anak yang satu ini. Dia pasti selalu mengatakan hal yang bertentangan denganku, tak pernah mendukungku. Aneh. Apakah seperti itu caranya berteman?

Hampir saja aku akan melempar serbet ke wajahnya Bima setelah aku merasakan Garda menyumpalkan sebelah headsetnya ketelingaku sedangkan sebelah tangannya mengusap lenganku lembut.

Ah... Kalau bukan Garda. Mana mungkin aku bisa mengontrol emosiku sendiri?

Bima memeletkan lidahnya padaku karna melihatku yang yang sudah luluh karna sikap Garda tak jadi melemparkan serbet kotor kewajahnya karna Garda telah menjauhkan serbet itu jauh dari jangkauanku. Bima, anak itu selalu tahu bagaimana membuatku kesal.

Sudut mataku menangkap pergerakan Redzi yang sedari tadi gelisah sendiri. Matanya meliar melirik sekeliling kantin sedari tadi, sedangkan sekarang ia menatap pintu kantin resah.

Akupun melongokkan kepalaku menatap pintu juga, mengernyitkan dahi karna tak ada sesuatu yang aneh pun di sana.

"Liat apaan sih, Ji?" tanyaku akhirnya pada Redzi yang berpangku tangan di seberangku.

Redzi mengerlingkan matanya padaku sekilas lalu bergumam tak jelas. "Ji!" Ucapku lagi memaksanya agar menjawab pertanyaanku.

"Itu... Andrita kemana? kok nggak ngantin?" tanyanya tanpa menatapku. Aku terkekeh setelah mengetahui alasannya itu.

"Tadi katanya ke perpus mau ngembaliin buku, eh novel bukan?" tanyaku sendiri bingung.

"Lo nggak nemenin?"

Aku mendengarkan derai tawa dari Bima setelah ucapan Redzi barusan. "ya elah, Ji. Ulfa mah mana mungkin mau pergi ke perpus. Mendingan dia nonton balap motor daripada pelototin buku!" selorohnya.

SeravianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang