1. Karenina Ayunda

37.8K 2.3K 83
                                    

Nina


Kakiku yang tadinya setengah berlari karena hendak keluar rumah otomatis terhenti di depan pintu ketika mataku melihat sosok tegap yang tengah berdiri di halaman depan sambil menyiram berbagai macam bunga di dalam pot yang entah sejak kapan ada di sana, paling banyak bisa kutemukan bunga mawar dan tulip, persis seperti kesukaan seseorang. Aku menghela napas. Lagi-lagi ayah seperti ini.

Ayahku selalu begitu jika dia sedang merindukan ibu. Sebenarnya, ini hanya salah satu dari begitu banyak hal yang ayah lakukan ketika dia merindukan ibu. Ibu suka sekali bunga, tanpa kecuali. Tapi seperti yang kukatakan tadi, ibu paling suka mawar dan tulip. Aku ingat, ada saat di mana halaman rumah kami dikelilingi oleh begitu banyak bunga. Beberapa orang yang melewati rumah kami mungkin akan salah mengira rumah kami adalah toko bunga atau bahkan taman bunga. Dan, saat ini adalah entah ke berapa kalinya ayah kembali membeli bunga dan menyiramnya di pagi hari. Tepat seperti yang selalu dilakukan ibu... dulu.

Karena kini Ibu tidak lagi di sini bersama kami.

Kembali ke Ayah, ini sudah ke sekian kalinya Ayah membeli bunga dan sepertinya usahaku menyingkirkan bunga-bunga itu setiap kali Ayah tidak melihat, gagal total. Bukannya aku membenci ibu, tentu aku tidak membencinya. Aku sudah terlalu besar untuk merengek dan membenci sosok ibu yang meninggalkan anaknya saat masih kecil.

Lagipula, mana mungkin ada seorang anak yang membenci ibunya? Berani bertaruh, tidak akan ada. Kalau mereka yang bersikap dingin dan tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan rasa sayangnya, mungkin ada. Tapi tidak dengan benci. Siapa yang bisa setega itu membenci seorang perempuan yang dulunya pernah dengan susah payah membawa mereka di dalam perut?

Dalam sebuah film yang pernah aku tonton, ada satu peristiwa yang selalu mengingatkanku pada ibu. Kejadian itu berlangsung di dalam sebuah kelas di satu universitas, di mana seorang dosen yang saat itu tengah mengajar bertanya kepada para mahasiswanya.

Dia bertanya "What is the most beautiful word in english?"

Mahasiswanya menjawab bermacam-macam; rainbow, love, rain, heart, dan sebagainya.

Sang Dosen hanya menggeleng pelan dan mengambil kapur untuk menulis di papan bor, satu kata, sambil ia ucapkan, "Mother."

Jadi, aku bukannya membenci ibu. Aku hanya tidak pernah bisa menemukan alasan kenapa ibu meninggalkan ayah yang begitu tulus mencintainya. Aku hanya tidak pernah bisa menerima kenapa ibu malah meninggalkan aku dan membuat rumah tangga yang sudah belasan tahun ia bina bersama ayah kandas begitu saja. Aku hanya tidak bisa menerima kenyataan kalau ibu tidak bisa berada di sini lagi. Dan hal-hal itu membuatku tidak pernah mau bertemu ibu lagi.

Ibuku yang jahat. Istri ayah yang jahat...

"Yah... " panggilku pelan ketika melihat mata ayah yang mulai berkaca-kaca.

Ayah menoleh padaku dan tersenyum hangat. Senyuman yang selalu bisa membuat aku tenang dalam keadaan apa pun. Senyuman yang dulunya bukan hanya selalu ayah tunjukkan padaku. Tetapi juga pada ibu. Pada istri yang paling dia cintai.

Ayah menyimpan selang di tangannya ke tanah dan berjalan menghampiriku. Lelaki yang rambutnya kini sudah memutih itu mencium keningku sekilas. "Udah siap kamu? Mau Ayah antar?"

Aku tertawa samar. "Ayah, ih. Udah kelas tiga, udah mau punya KTP, masa masih dianterin juga?"

Ayah tersenyum lagi. Aku selalu suka senyuman ayah.

"Loh emangnya kenapa? Ayah aja dulu masih diantar sama Atuk kamu sampai kuliah. Masa kamu enggak mau?" katanya. Ayah ini memang anak kesayangan Atuk, atau kakekku. Ayah orang Palembang, semua keluarganya di sana. Mungkin karena dari lima anak Atuk, ayah satu-satunya anak laki-laki, jadi Atuk begitu menyayanginya. Atuk juga menyayangiku karena aku anak ayah. Aku ingat sekali saat liburan beberapa tahun lalu ketika kami berdua berkunjung ke sana. Betapa bahagianya Atuk melihatku. Sayang sekali, Atuk sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Ayah sempat sangat terpukul karenanya, tapi saat ini aku senang karena Ayah sudah bisa membicarakan Atuk tanpa ada kesedihan sedikit pun di wajahnya.

Aku tidak menjawab, hanya berpura-pura berpikir. Walaupun sebenarnya aku pasti tetap akan menolak. Aku punya alasan kenapa tidak mau diantar. Setelah terdiam cukup lama, aku menggeleng.

Ayah menunjukkan raut wajah sedih, mempertegas kerutan-kerutan halus yang kini sudah banyak terlihat di wajahnya. Menandakan Ayahku ini sudah tidak lagi muda.

"Jadi, Ayah ditolak, nih?" katanya cemberut.

Aku terkekeh dan meraih tangan Ayah, mencium tangannya dan tersenyum. "Nina berangkat ya, Ayah sayang. Sarapannya dihabisin. Jangan nyuci baju sendiri, kan ada Mbok Nenti," kataku iseng, yang dibalas kekehan oleh Ayah.

Ya, Ayah ini memang aneh kadang-kadang. Kami punya asisten rumah tangga, kami juga punya sopir keluarga, kami punya penjaga kebun. Tapi, seperti yang aku katakan tadi, Ayah kadang mencuci pakaiannya sendiri. Mungkin, ini hanya mungkin, mungkin itu adalah salah satu cara yang ayah lakukan ketika dia merindukan ibu. Karena dulu, kami tidak punya asisten rumah tangga, Ibu yang selalu melakukan pekerjaan rumah. Iya, sekali lagi, dulu.

"Pulang kerja jangan kemalaman, ya," lanjutku.

Ayah mengangguk patuh. Aku terkekeh. Ayahku ini bekerja di salah satu firma hukum milik negara. Dia seorang jaksa. Aku pernah satu kali menyaksikan sidang Ayah, dan aku langsung berpikir kalau aku bukan anak Ayah, aku pasti akan jatuh cinta padanya.

"Yaudah, Nina berangkat," kataku lagi. Kali ini, aku langsung menuju pagar rumah dan berjalan beberapa meter sampai tiba di depan jalan raya. Aku menunggu taksi yang tak lama muncul dan menaikinya menuju sekolah.

Hanya sepuluh menit sampai taksi yang aku naiki tiba di depan gerbang SMA Pelita Nusantara. Sekolahku selama hampir tiga tahun ini. Setelah membayar taksi, aku memasuki gerbang sekolah. Dengan tenang dan wajah datar.

Ayah tidak tahu kalau di sekolah sangat berbeda dengan di rumah.

Di sekolah, aku hanyalah seorang siswa yang tidak pernah bicara satu patah kata pun, aku hanyalah seseorang yang duduk di bangku paling belakang dan tidak pernah melakukan apa-apa kecuali duduk di sana sampai bel pulang berbunyi, aku hanyalah seorang Karenina Ayunda yang mungkin ketika seorang guru mendengar namaku akan mengatakan "Karenina yang mana ya?"

Karena di sekolah, aku ini hanya seorang anak perempuan yang hidupnya menderita karena kerusakan rumah tangga orang tuanya. Ayah akan malu jika tahu aku tidak seperti anggapannya.

Aku yang pandai bergaul, aku yang selalu mendapat nilai A, aku yang aktif ikut organisasi atau ekstrakurikuler, aku yang tertawa bahagia di kantin atau di koridor bersama teman-temanku. Ayah pasti mengira hidupku di sekolah seperti itu.

Tapi aku yang seperti itu tidak ada. Karena di sekolah, aku ini hidup tapi seolah tak bernyawa. Jika membicarakan kisah di dalam sebuah novel atau film, aku ini hanya pemeran pembantu. Salah, aku mungkin cuma figuran yang keberadaannya antara ada dan tiada, yang keberadaannya hanyalah alasan untuk mendukung segala yang terjadi pada tokoh utama.

Sampai aku bertemu dengannya dan semuanya mulai berubah. Berubah total. Seseorang yang perlahan menjadikanku tokoh utama dalam sebuah kisah romantis.

Yang seperti komedi.

Tapi perlahan menjadi tragedi. 

Na!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang