10. Arjuna Sakit Parah

14.9K 1.4K 22
                                    

Nina

Bila aku kembali berbalik, itu artinya sudah selusin kali aku berjalan ke gerbang tapi tidak juga pulang. Sejak satu jam lalu, yang aku lakukan hanyalah mondar-mandir tidak jelas dari lapangan basket ke gerbang sekolah, kembali lagi ke lapangan basket sebelum akhirnya kembali lagi ke gerbang karena aku tidak punya cukup nyali. Punya cukup nyali untuk apa? Untuk mendatangi seorang lelaki yang saat ini sedang duduk di pinggir lapangan dengan keringat bercucuran.

            Saat ini, aku sudah sangat menyesal karena kejadian tempo hari dan sepertinya aku akan semakin menyesal jika aku tidak ke sana dan bicara pada orang itu.

            Aku baru saja hendak melangkah ketika orang itu berdiri dan berbalik, membuat posisinya berhadapan denganku. Aku menelan ludah. Bagaimana ya, bicaranya?

            Dia berjalan ke arahku sambil menatapku beberapa saat sebelum akhirnya dia memilih melewatiku begitu saja. Aku menghela napas sebelum mengembuskannya perlahan. Aku harus bicara. Sekarang juga.

            "Rangga," aku memanggilnya, akhirnya.

            Lelaki itu berhenti, kemudian kembali berbalik. Dia mengejapkan mata beberapa kali sebelum menunjuk dirinya sendiri, "Gue?" dia bertanya.

            Aku hampir saja mendengus. Memangnya siapa lagi yang sedang berada di antara kami dan bernama Rangga?

            Tapi aku hanya mengangguk. Wajar saja reaksinya seperti itu, aku tidak pernah berbicara satu kali pun dengannya. Padahal kami sempat satu kelas sebelum ini.

            Rangga berjalan kembali ke arahku dan menatapku bingung, "Kenapa?"

            Aku menggaruk tengkukku, ikut bingung. Tapi tentu saja kebingunganku dan kebingungan Rangga saat ini berbeda. "Arjuna," kataku sebelum berdeham pelan, "Dia ke mana?"

            Rangga kembali mengedipkan matanya beberapa kali. Aku benar-benar tidak bisa menilai caranya menatapku saat ini. Dia benar-benar sulit dibaca! Tapi aku yakin, Rangga pasti tahu jawaban pertanyaanku barusan. Aku tahu Rangga adalah sahabat Arjuna yang paling dekat. Dan, ngomong-ngomong, aku punya alasan kenapa aku menanyakan Arjuna pada Rangga. Ini sudah hari ke tiga Arjuna Adinegara tidak masuk sekolah. Dan aku yang biasanya tidak pernah perduli tentang absensi seseorang di kelas, kini jadi perduli entah kenapa. Sebenarnya, aku tahu kenapa. Dan alasannya lebih dari satu. Pertama, hari sebelum dia tidak masuk sekolah adalah hari di mana aku membentaknya dan membuatku menyesal sampai sekarang. Kedua, aku belum sempat meminta maaf karena kejadian itu dan dia sudah pergi entah ke mana. Dan, ketiga, dia adalah Arjuna Adinegara.

            Walaupun aku sangat tidak ingin mengakuinya, tapi aku yakin sekali aku tidak akan perduli sama sekali jika yang menghilang dari sekolah bukan Arjuna.

            Aku bukannya khawatir, seorang Karenina Ayunda tidak akan pernah merasa khawatir pada seseorang kecuali Ayahnya. Jadi, aku bukannya khawatir. Aku hanya merasa tidak enak terhadapnya. Masih karena kasus yang sama. Bentakkan yang aku tujukan padanya yang langsung membuatnya mendiamkan aku seharian sebelum keesokkan harinya dia tidak masuk. Dan besoknya masih tidak masuk. Dan besoknya juga, hari ini.

            Sedikit demi sedikit, aku mulai bisa membaca tatapan Rangga. Tiba-tiba saja wajahnya yang sebelum ini bingung, kemudian tanpa ekspresi, mendadak terlihat sedih.

            Lelaki itu tersenyum simpul dan membuang pandangannya dariku, memandang lapangan basket SMA Pelita Nusantara yang kini sudah kosong karena Rangga adalah yang terakhir tadi.

            Rangga menelan ludah dan kembali menatapku. "Lo janji nggak akan bilang sama siapa-siapa?" katanya hati-hati.

            Aku mengejapkan mata, memangnya kenapa? Apakah ada alasan yang membuatku tidak boleh mengatakan hal yang akan Rangga katakan pada siapa pun? Dan lagi, perasaanku jadi tidak enak.

Na!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang