5. Kebetulan Keterlaluan

17.5K 1.7K 142
                                    

Nina

Aku ingin segera pulang dan aku punya lebih dari satu alasan. Pertama, aku sudah menemui Tante Sena dan Lolita—ngomong-ngomong, aku dan Lolita agak canggung tadi, padahal dulu kami sering mandi bersama, waktu memang jagonya mengubah sesuatu—kedua, aku sudah tidak tahan dengan keramaian ini, dengan hiruk pikuk rumah ini, dan yang terakhir, ada lelaki itu di sini. Arjuna Adinegara ada di sini. Maksudku, kok bisa? Dia kenal Lolita? Tapi, bagaimana? Kenapa?

            Aku mau pulang. Tapi kalau aku memang ingin pulang, sebagai keponakan yang baik, seharusnya aku menghampiri Tante Sena terlebih dahulu dan pamit padanya. Berani taruhan, kalau seperti itu aku malah akan lebih lama berada di sini. Mungkin sampai pesta ulang tahun Lolita selesai aku masih mengobrol dengan Tante Sena. Kalau aku kabur begitu saja, bisa sih, paling-paling nanti Tante Sena menelepon Ayah dan Ayah yang akan menceramahiku tentang kesopanan. Salah satu tema ceramah Ayah yang sudah sangat bosan aku dengar.

            Jadi, saat ini, aku malah berjalan ke pojokan dan duduk di sebuah sofa hitam yang untungnya, sedang kosong. Tentu saja. Semua yang ada di tempat ini sepertinya sangat menikmati bergoyang dalam alunan musik beat di tengah ruangan atau sekadar mencicipi makanan-makanan manis yang disediakan oleh pembuat acara.

            Panggil aku aneh, tapi aku tidak suka makanan manis. Sama sekali. Tapi tentu aku punya alasan, ketika aku berumur dua tahun, aku bermain ke sebuah taman bermain dan memakan begitu banyak makanan manis. Mulai dari permen kapas, kue-kue manis, cokelat, banyak sekali sampai aku muntah-muntah dan tidak bisa melihat makanan manis berhari-hari setelahnya. Dan rupanya, sampai sekarang.

            Aku mengeluarkan ponsel dari tas tangan, mencoba membuka artikel-artikel untuk membunuh waktu. Cukup lama, mungkin lima belas menit sampai setengah jam aku hanya membaca tulisan di layar ponselku sampai aku merasa butuh mengalihkan pandangan. Aku mengangkat mataku dari layar ponsel dan mataku langsung jatuh pada sepasang sepatu kets hitam di hadapanku. Aku mengerjap.

            Siapa?

            Aku mendongak dan untuk kedua kalinya di hari yang sama, mataku kembali bertemu dengan matanya. Dia berdiri di sana.

            Arjuna Adinegara berdiri di hadapanku. Terlihat tampan dengan kaus putih polos kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana bahan hitamnya.

            Sudut bibirnya terangkat. "Hai," sapanya.

            Rupanya dia belum juga menangkap sinyal jangan ngomong sama gue milikku. Lantas, aku harus bagaimana lagi ketika biasanya wajah ini sudah mempan untuk semua orang?

            "Masih nggak mau ngomong sama gue?" dia bertanya setelah aku cukup lama terdiam.

            "Lo mau apa?" kataku akhirnya dengan sangat datar.

            Kemudian lelaki itu tersenyum. Benar-benar tersenyum hingga memperlihatkan dua lesung pipi di pipi kanan kirinya dengan cukup jelas.

            "Pertama, gue mau duduk di sini," katanya yang kemudian disusul dengan dia yang duduk di sampingku.

            Aku mengerjap dan cepat-cepat bergeser. Memberi jarak sebisa mungkin antara diriku dengan dirinya di atas sofa yang tiba-tiba terasa sangat kecil ini.

            "Dua, gue mau kontak lo," lanjutnya menunjukkan angka dua dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. "Tiga," katanya mengangkat jari manis, "gue mau—"

            "Arjuna," panggilku tidak tahan. Tapi kemudian aku langsung menyesal telah memanggil namanya.

            Lelaki itu mengerjap seraya menoleh padaku. Terdiam beberapa detik dan lagi-lagi, dia tersenyum. "Nama gue kedengeran bagus banget kalau lo yang sebut," ucapnya menambah penyesalanku.

Na!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang