Nina
Serius, deh. Ini orang kenapa memperhatikan aku sampai sebegitunya, sih? Membuatku risih setengah mati. Tapi, tentu saja. Aku tidak bereaksi sama sekali. Aku bahkan tidak memperlihatkan kalau aku risih sekali karena ditatap seperti itu. Aku tetap duduk dengan tenang, tentunya dengan wajah datarku. Seolah tidak ada siapa-siapa di sana selain aku. Seolah tidak ada lelaki yang aku tidak tahu siapa sedang menatapku dengan blak-blakan!
Tapi sepertinya dia cukup tahu diri juga karena lelaki itu kini telah mengalihkan pandangannya dariku. Sebaiknya aku berhenti berpikir tentang hal itu karena itu bukan sesuatu yang biasa seorang Nina lakukan; menganggap orang lain ada. Ya, aku memang tidak pernah menganggap ada orang lain di sekitarku. Mungkin karena itu aku selalu sendirian. Tapi, tidak masalah juga. Aku tidak keberatan dengan hidupku yang seperti sekarang.
Hari pertamaku di kelas baru berjalan dengan stagnan. Seperti biasanya. Seperti seharusnya. Kelas sudah mulai belajar. Bukan tanpa alasan, tapi karena saat ini kami sudah ada di semester terakhir SMA. Yang mana artinya, semua jenis ujian akan dilakukan di semester ini. Jadi, kami seharusnya tidak melakukan hal lain selain belajar, bukan?
Aku sendiri tidak terlalu bermasalah dalam pelajaran. Meskipun tidak pernah mendapat peringkat pertama—aku sengaja, aku tidak mau menonjol—nilai-nilaiku selama ini tidak pernah kurang dan selalu meningkat setiap semesternya. Biasanya aku akan masuk dalam lima besar dan ada di posisi tiga atau empat. Terus saja seperti itu. Karena meskipun aku benar-benar tidak ingin menonjol, aku tidak boleh membuat ayah malu.
Kelas sudah hampir kosong ketika aku membereskan buku-buku milikku. Biasanya, aku memang baru akan pulang ketika sekolah sudah sangat sepi. Tapi tidak sesepi itu, setiap harinya pasti masih tersisa beberapa orang yang tengah latihan ekstrakurikuler. Tapi itu pun di tempatnya masing-masing, kecuali basket atau ekskul olah raga lainnya yang menggunakan lapangan.
Di saat-saat menunggu ini, biasanya aku hanya diam. Duduk di kursiku sambil melihat keluar melalui jendela—ini salah satu alasan kenapa aku selalu memilih kursi yang dekat dengan jendela yang mengarah keluar—untuk melihat apa pun. Terkadang langit, ketika langitnya sedang begitu cerah dan membuatku tersenyum tipis hanya dengan melihatnya. Terkadang pohon yang dedaunannya tengah bergerak-gerak karena tersapu angin. Terkadang hanya menatap kosong ke depan. Hanya itu. Aku tidak pernah melihat orang-orang. Karena aku tidak tertarik.
Sampai saat ini.
Entah karena langit di atas sana sedang mendung sampai tidak begitu menarik untuk dilihat atau karena dedaunan di pohon beringin di hadapanku tidak bergerak, untuk pertama kalinya, aku, Karenina Ayunda, melihat seseorang.
Sesuatu yang aku tidak tahu apa seolah menuntunku untuk melihatnya. Menarik paksa penglihatan serta fokusku untuk diarahkan padanya.
Apa yang membuatnya semenarik itu sampai aku melihatnya? Apa karena sedari pagi dia terus mengajakku berbicara?
"Lo mau tukeran duduk, nggak?" itu yang pertama. Pertanyaan yang aku biarkan menggantung karena aku tidak memberi jawaban. Bahkan menoleh padanya saja tidak. Meskipun, jujur, aku setengah mati menahan pandanganku agar tidak terarah padanya.
"Nggak mau, ya?" Suaranya kembali memenuhi benakku. Itu yang dia katakan setelah lima menit aku tidak memberi jawaban.
"Gue Arjuna. Panggil Juna boleh, Jono jangan. Itu panggilan sayang nyokap soalnya. Tapi, boleh sih, kalau lo emang sayang sama gue. Hehe."
Itu yang ketiga.
Hey, dia ini kenapa sih? Aku sampai tidak habis pikir tadi. Padahal aku jelas-jelas sama sekali tidak menanggapinya. Apakah dia tidak mengerti atau bagaimana? Sepertinya dia tidak menangkap sinyal jangan ngomong sama gue yang aku tujukan untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Na!
Teen Fiction"Na, tau nggak bedanya kipas sama elo?" "Apa?" "Kalau kipas bikin angin. Kalau lo, bikin angen." "....." *** Arjuna, cowok yang nggak bisa serius kecuali waktu bilang sayang sama Nina, hobinya ngelawak apalagi di depan Nina, cita-citanya bikin anak...