13. Jalan Bareng

15.2K 1.3K 44
                                    

Juna

Lihat muka sumringah Rangga saat ini rasanya gue pengen muntah. Sumpah, dengan muka dan badannya yang cowok banget, sekarang dia kelihatan kayak cewek yang lagi bahagia banget karena baru aja dilamar sama pacarnya pake cincin dua puluh lima karat yang di tengahnya ada berlian kecil. Kebayang kan, kayak gimana mukanya sekarang? Pengen muntah juga nggak, lo?

Dan, muka Rangga yang tiba-tiba kayak gitu sebenernya bukan tanpa alasan, dia seseneng itu karena gue beliin dia smartwatch baru setelah punya dia yang lama rusak pas kita berdua lagi jogging terus punya dia jatoh ke kubangan air, pas dia mau ambil, ada sepeda lewat dan prak, pecah dah tuh.

Dan, gue ngasih smartwatch ke dia juga bukan karena gue sahabat yang super baik dan pengertian. Tapi karena dia yang minta. Yah, awalnya gue yang nawarin, sih. Ini gara-gara kejadian Nina ke rumah gue waktu itu.

Malemnya gue langsung ke rumah Rangga dan itu bocah lagi nonton tv sambil nyemilin pilus. Dari mukanya sih, dia kelihatan banget emang lagi nungguin gue seolah-olah dia yakin kalau gue pasti datangin dia. Kepedean banget nggak, sih? Ya walaupun gue emang datang, seenggaknya mukanya nggak usah kayak ngarep gitu, dong.

Ah. Kenapa gue jadi ngomongin mukanya Rangga?

Pokoknya, waktu itu, nggak tau kesurupan apaan, gue ngomong gini ke Rangga, "Bilang lo mau apa, gue kasih."

Emang dasar gue oon kali ya, makanya bisa bilang begitu. Padahal kalau si Rangga minta Hanoman jadi milik dia kan kacau. Gila aja dia minta mobil gue. Tapi, untungnya, si Rangga ini tau diri dengan ketidak—tahu—diriannya.

Seolah tau kalau pertanyaan itu bakal gue lontarkan, dia menatap gue dengan yakin sambil bilang. "Lo tau kan, smartwatch gue rusak setelah jatoh ke kubangan air dan dilindes sepeda?"

Waktu itu, gue cuma manggut-manggut aja. Masih belum kepikiran kalau si Rangga bakal minta itu.

"Beliin gantinya. Gue mau beli baru tapi lagi bokek," katanya dengan muka yakin seyakin yakinnya kalau gue nggak bakal nolak.

"Sori. Salah rumah, gue nyari Cinta, bukan Rangga, permisi," kata gue sambil jalan keluar lagi. Tapi, si Rangga ngejar gue udah kayak pemeran utama film bollywood ngejar cewek idamannya.

"Ih," katanya kesal.

Gue memutar kedua bola mata gue. "Abisnya, nggak kira-kira lo minta upah! Kalau Nina datang sambil bilang 'Juna, lo mau kan jadi pacar gue?' gue jabanin deh itu smartwatch mau selusin juga. Lah ini? Dia kan cuma dateng bawa makanan karena dia mikir gue sakit dan dia ngerasa bersalah karena bentak gue sebelumnya," jelas gue panjang lebar.

Dan dengan tenangnya, si Rangga geleng-geleng kepala. "Salah, Juna. Lo salah."

"Maksud lo?" tanya gue bingung. Salah di mananya? Orang kejadiannya emang begitu, kok. Kan gue yang ngalamin. Kenapa ini bocah sok tau banget?

"Itu bukan cuma. Lo nggak paham, ya? Lo nggak lihat sih gimana mukanya si Nina pas gue bilang kalau lo sakit parah dan penyakit lo kambuh terus lo harus dirawat," katanya sok misterius.

Gue mendengus. "Langsung aja ke intinya. Gue nggak paham belah mananya?" kata gue nggak sabar.

"Dia khawatir sama lo, Juna."

Gue inget banget gue langsung mengejapkan mata waktu itu. Dan tanpa sadar, sudut bibir gue terangkat gitu aja.

"Kalau dia khawatir, berarti dia sebenernya perduli," kata Rangga lagi, bikin senyum di wajah gue makin lebar. Badan Nyonya Besar aja kalah deh lebarnya. Hehe, boong deng. Nyonya Besar mah langsing, badannya kayak badan Miss World.

Na!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang