"Karena pertemuan adalah sebuah takdir, entah takdir yang akan membawamu pada kebahagiaan atau pada perpisahan yang menyedihkan. Sebuah takdir yang tak bisa terhindarkan, tak terkecuali ketika Allah mempertemukan aku denganmu."
- Ghaznia Mutaharry -
******
Matanya tertuju pada satu titik, hatinya bergetar hebat kala melihat sekumpulan remaja keluar dari tempat itu mengenakan peci dan baju koko lengkap dengan kitab suci yang mereka peluk dengan kedua tangannya. Satu detik kemudian mata lelaki ini beralih pada kubah Mesjid yang mengkilat nan indah. Sekali lagi hatinya berdesir seolah ada yang tengah lama ia rindukan.
Matanyapun enggan lepas dari memandangi mereka yang baru saja keluar dari Mesjid kampus itu. Lalu ia menatap dirinya sendiri pada genangan air tepat dibawah kakinya, memerhatikan setiap detail yang ia kenakan. Jeans hitam, baju batik coklat modif kekinian dan sepatu ketsnya cukup sangat membedakan ia dengan sekumpulan anak rohis tadi.
Sebenarnya ada yang mengusik hatinya akhir-akhir ini, keinginan besar untuk merubah kehidupannya menjadi lebih beragama membuatnya tanpa sadar sering kali memandangi kubah Mesjid dari kejauhan yang seolah sering memintanya masuk ke dalam rumah Allah itu, namun sering kali juga sekelibat keraguan merasuki hati ketika ia mencoba memperjuangkan keinginan besarnya yang terus datang menghampiri.
Ia takut takkan konsisten dengan keputusannya dan masih memanjakan kehidupannya saat ini dimana hal duniawi masih lebih sering diutamakan. Pasalnya, lelaki jurusan sastra inggris dengan ip terakhir 3,8 ini dikenal sebagai anak pintar yang gaul dan ramah, bukan sebagai orang yang agamis. Namun bukan berarti ia sering meninggalkan ibadah wajibnya (shalat 5 waktu dan lainnya) hanya saja bila bicara tentang agama, pengetahuan lelaki ini masih berbeda jauh dari teman-teman rohis himpunannya terutama Sidiq yang memang dikenal sebagai anak yang sangat kental dengan agama.
Lelaki keturunan Medan bernama lengkap Ongku Ikhsan ini tau bahwa keinginan besar yang kini sedang bersemayam dalam hatinya membutuhkan keyakinan yang matang sehingga ia takkan tergoda oleh apapun walau sebenarnya beberapa teman sejawatnya sangat mendukung ketika Ikhsan menceritakan keinginannya untuk berubah menjadi lebih agamis dan mendekatkan diri kepada Allah.
Namun sekali lagi keraguan sering kali menerjang hatinya hingga membuat lelaki ini berkata "aku belum siap menjadi lebih baik" apalagi ditambah pengetahuan akan agamanya tak sedalam Sidiq membuat keraguan Ikhsan semakin besar, lebih tepatnya malu.
Ikhsan termenung, matanya menyoroti sosok yang sudah lama ia tunggu diantara kerumunan banyak orang yang keluar masuk Mesjid. Dengan senyum menyungging dibibirnya, Sidiq mendekati Ikhsan yang sejak tadi berdiri didepan pintu Mesjid.
"Sudah menunggu lama?" tanya Sidiq yang dibalas gelengan Ongku Ikhsan.
Tak butuh waktu lama, Ikhsan mengikuti langkah Sidiq masuk menuju koridor terbuka Mesjid itu. Matanyapun ikut melirik sana sini sama seperti Sidiq yang mencari tempat kosong untuk diduduki disepanjang koridor namun tak kunjung mereka dapati hingga tibalah mereka di selasar Aula Mesjid yang berhadapan langsung dengan taman yang menjadi pembatas antara koridor dan selasar Aula dengan jalan kecil ditengahnya sebagai penghubung antara dua tempat tersebut. Memang spot yang sempurna untuk mengerjakan tugas kelompok dimana sinar matahari tak begitu menyoroti mereka namun masih dapat terasa hangatnya, ditambah pemandangan asri rumput hijau dan beberapa pohon kecil yang menghiasi tepi rumput melengkapi keindahan halaman Mesjid tersebut.
Kalau bukan karena tugas akhir mata kuliah agama mungkin Ikhsan takkan datang ke tempat ini karena pasalnya ia lebih sering sembahyang di mushola lantai 2 atau lantai 5 fakultas bahasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Atas Sajadah
Spiritual[Chapter 1, 2, 3, dan 4 belum direvisi.] Kisah hijrahnya seorang pemuda bernama Ongku Ikhsan dan perjalanannya dalam mengejar cinta Allah. Bagaimanakah kisahnya? Silahkan dibaca :)