Pastikan bacanya sampai ada tulisan "Bersambung" yaa....
*******
"Jangan meremehkan langkah kecil yang kuambil. Sebab, kamu tak pernah tau seberapa sulitnya aku meyakinkan diriku sendiri untuk memulai."
- Ghaznia Mutaharry -
*******
Ikhsan menyalakan lampu kamar kossannya. Ia membiarkan jendela terbuka, menyuguhkan pemandangan bintang-gemintang di kegelapan malam.
Ia duduk di tepi kasur, mengingat perasaannya tadi siang. Sesekali ia mendongakkan kepala setelah menunduk beberapa kali. Baru kali ini ia merasa malu. Apalagi perasaan malu tersebut berhasil membuat air matanya sempat bebas meluncur semaunya.
Segera ia meraih ponsel lantas menelpon sang ibu untuk bercerita. Sang ibu tersenyum diujung telpon sana saat mendengar Ikhsan menceritakan tentang apa yang ia lalui tadi siang.
"Sudah... Tidak apa-apa Ikhsan.." Tanpa sepengetahuan anaknya, sang ibu masih tersenyum. Ada perasaan bahagia menerpa begitu saja.
"Lalu sekarang kamu sudah shalat Isya?"
"Belum bu." Ikhsan menjawab.
"Ya Sudah.." Sang ibu menjeda. "Mending, sekarang kamu shalat dulu. Menangislah juga sama Allah. Adukan segala perasaan yang sedang berkecamuk dalam hati kamu, anakku."
Ikhsan mengangguk. Perasaannya semakin membaik setelah menceritakan segalanya pada sang ibu. Tak lama kemudian percakapan mereka berakhir.
Ikhsan segera mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat isya. Hening, menambah kekusyuan lelaki ini dalam beribadah. Bahkan air matanya makin mengalir setiap ia mengucap kalimat takbir Allahu akbar yang diiringi surah Al-fatihah setelahnya disetiap rakaatnya. Baru kali ini ia meresapi setiap bait doa yang ia panjatkan dalam shalat.
Dan seperti kata ibunya, Ikhsan langsung mengadu semua perasaannya pada sang Pencipta begitu shalat selesai. Malu dan sedih bercampur. Perbincangan manis penuh makna bersama Allah, membuat hati lelaki ini semakin tenang.
***
Disaat yang sama, Sidiq dan keluarga pun usai mengerjakan shalat isya berjamaah yang di lanjut dengan tilawah bersama di mushola rumahnya.
Merdu. Memang tiada bacaan yang mampu menandingi indahnya lantunan ayat suci Al-Qur'an. Bahkan syair Abu Nawas yang bertajuk "Tak Pantas Masuk Surga" dan puisi tentang Kematian Karya Imam Syafi'i yang selama ini mampu meluluhlantahkan jiwa Sidiq pun seolah tak ada apa-apanya dibanding lantunan indah Al-Qur'an yang tengah berputar pada setiap bibir keluarganya.
Inilah yang Sidiq tunggu. Beberapa nasihat dari abi tercinta yang selalu berhasil menggelayutkan dirinya di tali pengingat Allah.
"Gantungkanlah kematian di pelupuk matamu wahai anakku, agar engkau selalu ingat Allah SWT."
"Karena sungguh, jika kelak kematian datang, tidak ada teman, tidak juga keluarga, dan tidak ada harga kekayaan terkecuali kita dan amal yang kita punya, anakku." duduk silanya dengan badan tegap, membuat lelaki separubaya ini tampak berwibawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Atas Sajadah
Espiritual[Chapter 1, 2, 3, dan 4 belum direvisi.] Kisah hijrahnya seorang pemuda bernama Ongku Ikhsan dan perjalanannya dalam mengejar cinta Allah. Bagaimanakah kisahnya? Silahkan dibaca :)