Masjid Al-Barkah

1.1K 51 9
                                    

Besok harinya setelah kelas selesai, Ikhsan menunggu Sasya di depan kelas, sebab katanya ada sesuatu yang ingin diberikan. Lima menit berlalu, Ikhsan menunggu Sasya sambil mereview materi mata kuliah sebelumnya. Tiba-tiba bunyi pesan SMS masuk. Ternyata itu dari Sasya yang bilang kalau dirinya masih rapat dengan anggota UKM Al-Qolam (UKM kepenulisan islami). Ikhsan hanya membalas "Baik tidak apa-apa, Sya. saya masih akan menunggu di lantai lima FPBS."

Koridor lantai lima Bahasa Inggris memang ramai. Suara mahasiswa terdengar menggema memenuhi koridor. Ikhsan tetap membaca dengan fokus. Sesekali teman perempuan dari kelas lain menyapanya sambil lewat. Ikhsan hanya membalasnya dengan anggukan atau senyuman.

Akhirnya Sasya datang bersama temannya yang bernama Nabila, perempuan yang juga dikenal sebagai sosok yang solehah. Ikhsan menyambut kedatangan mereka dengan senyuman takzim.

"Assalamualaikum." Ia menutup bukunya sejenak kemudian berdiri.

"Waalaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. O Iya ini San!" Sasya menyodorkan secarik kertas kecil kepadanya. Sekilas Ikhsan membaca, itu adalah alamat masjid Al-Barkah, Gerlong.

"Aku sudah bicara pada pengurus di sana. Kami memang sedang membutuhkan dua pengajar lagi. Semoga kamu mau mencoba jadi guru ngaji di sana." Jelas Sasya pelan.

"Nabila juga salah satu pengajar di sana." Sasya menambahkan. Nabila hanya tersenyum. Ikhsan nampak antusias membaca alamat masjid Al-Barkah. Matanya berbinar-binar penuh semangat. Baginya ini merupakan jalan terang untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Dengan mantap Ikhsan menjawab,"Sip insya Allah saya bisa. Kapan saya harus datang ke sana?"

"Kalau kamu memang bisa, datang saja pukul setengah empat sore ini."

"Baiklah saya datang!" Dalam hati, Ikhsan bersyukur setidaknya ada dua orang yang dikenalnya di masjid Al-Barkah nanti. Jadi tidak akan terlalu gugup.

"Tapi kami tidak membayar pengajar. Apa kamu masih berkenan?" Sasya menambah lagi. Wajahnya selalu meneduhkan. Tuturnya selalu lembut didengar.

"Tidak apa-apa kok! Saya niatnya bukan untuk mencari uang tapi menambah pengalaman. Jadi tidak usah khawatir. Insya Allah saya mau! Terima kasih Sya!" Ikhsan menjawab tegas. Sejurus kemudian Sasya dan Nabila pergi. Menghilang dari pandangan. Ikhsan masih diam di tempat. Sekilas melirik jam tangan. Dirinya menunggu Sidiq dan Sulthan untuk mengantarnya ke perpustakaan masjid Al-Furqan. Perpustakaan UKM Tutorial.

Koriodor lantai lima masih tampak ramai. Raden, Fatih, dan Gupi tampak keluar dari kelas dengan acuh. Mereka sengaja tak melihat ke arah Ikhsan. Pertengkaran di antara Ikhsan dan kedua temannya masih berlangsung. Namun Ikhsan tak mau ambil pusing. Hanya Raden saja yang memberikan seulas senyum kepadanya. Ikhsan balik memberi senyum. Kemudian mereka berlalu.

Ikhsan memutuskan untuk pindah ke selasar lantai lima. Terdapat beberapa kursi di sana. Ikhsan-pun duduk sambil kembali membaca review mata kuliah. Sesekali melirikan pandangannya ke koridor Sastra Indonesia tanpa sengaja.

Sudah lima menit berlalu, namun Ikhsan masih belum menemukan sosok Sidiq maupun Sulthan. Kemudian, lagi, pandangannya tertuju kepada koridor Sastra Indonesia. Cukup lama Ikhsan memandangi koridor tersebut padahal ia tak mengenal dan tak memiliki satupun sahabat dari jurusan itu. Namun pandangannya tak juga beralih. Ia mengharapkan satu sosok perempuan keluar dari jurusan itu.

"Assalamualaikum, Ikhsan!" Ucap Sidiq membuyarkan lamunan Ikhsan, diikuti Sulthan dibelakang. Mereka bersalaman.

"Waalaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.."

"Afwan sudah membuatmu menunggu lama." Ujar Sulthan. "Kami tadi habis rapat rohis. Rencananya bakal ada Mabit, nanti. Kamu ikutan ya. Wajib! Haha..."

Cinta di Atas Sajadah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang