Cuaca siang itu sangat panas. Sinar matahari begitu terik. Cocok untuk dipakai waktu tidur siang atau minum minuman dingin. Walaupun begitu, angin sepoi-sepoi juga datang. Membuat orang-orang yang merasakan panas hari itu tidak terlalu merasa bahwa mereka sedang dimasak di atas kompor.
Ikhsan duduk di tepi rooftop lantai lima Fakultas Bahasa. Matanya menikmati pemandangan para mahasiswa yang sedang sibuk mundar-mandir dengan urusannya masing-masing. Ia mengayunkan kedua kakinya sambil tersenyum. Ia senang memerhatikan orang-orang. Hal itu bisa membawa pikirannya ke mana-mana. Menyelami terkaannya sendiri terhadap orang-orang yang dilihatnya. Terkadang dirinya malah membayangkan bahwa ia menjadi seseorang yang sedang ia perhatikan.
Angin sepoi-sepoi menyapanya lagi. Terasa sejuk. membuat Ikhsan tak merasa terlalu kepanasan. Tak lama kemudian Ikhsan melihat Sasya dengan rusuh memasuki gedung Fakultas Bahasa. Barangkali takut terlambat masuk kelas, pikir Ikhsan. Ia tersenyum lagi, sebab ia tau dosen mata kuliah siang itu tidak akan masuk kelas.
"Apa Sasya tidak membaca pesan di grup line?"
Ikhsan masih memerhatikan Sasya hingga perempuan itu benar-benar masuk ke gedung Fakultas Bahasa dan menghilang dari pandangannya. Lagi-lagi ia tersenyum. Tiba-tiba ia ingat kebahagiaannya bisa mengajar anak-anak di masjid Al-Barkah. Dan itu berkat perempuan itu. Berkat Sasya yang menawarinya suatu kebahagiaan yang tak akan ternilai oleh apapun. Walaupun baru beberapa hari Ikhsan mengajar di Al-Barkah, namun dirinya merasa seperti sudah lama mengajar di sana. Orang-orangnya baik dan ramah. Tidak membuatnya canggung atau gugup. Membuatnya sangat betah.Senyuman seluruh anak didiknya seketika terlintas. Suara mereka tiba-tiba terasa terdengar. Lantunan mengaji mereka tiba-tiba terasa begitu dekat. Ikhsan sangat senang.
Tiba-tiba ia menyobekkan satu kertas dari bukunya. Ia mulai menulis. Semua kebahagiaan yang ia rasakan di masjid Al-Barkah, ia tulis dalam kertas itu. Bentuknya prosa pendek. Rencananya ia juga akan mengunggahnya di blog pribadinya. Biar semua orang tau kebahagiaan yang ia rasakan.
Sudah beberapa menit, akhirnya Ikhsan berdiri meninggalkan rooftop tersebut. Sudah hampir pukul dua siang. Ia mau pergi ke perpustakaan masjid Al-Furqan untuk membaca sekalian menunggu waktu ashar tiba.
Namun ketika Ikhsan hampir tiba di ujung selasar lantai lima, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan memanggil namanya. Suaranya sangat tak asing bagi Ikhsan. Suara yang berasal dari koridor Sastra Indonesia.
"Ongku Ikhsan!" Ikhsan otomatis berbalik badan. Ia kaget bukan main. Tak menyangka bahwa perempuan itulah yang akan memanggilnya. Sang perempuan mentor yang ia belum ketahui siapa namanya.
Perempuan itu menghampiri Ikhsan sementara Ikhsan masih tertegun.
"Kamu Ongku Ikhsan kan?" Kata perempuan itu pelan. Ikhsan benar-benar tak menyangka bahwa perempuan itulah yang akan menyapanya terlebih dahulu. Ikhsan terdiam. Dirinya tak mampu menyembunyikan kekikukannya.
"Kertasmu tadi jatuh" Ucap perempuan itu lagi sambil menyodorkan selembar kertas prosa yang di buat Ikhsan beberapa menit lalu di rooftop. Balutan kerudung merah panjang dan gamis hitamnya tampak cantik dikenakan. Perempuan itu kemudian tersenyum. Begitu manis. Ikhsan semakin tergagap. Ia tak tau harus berkata apa. Sementara perempuan itu mengulurkan tangan memberikan secarik kertas, tangan Ikhsan mendadak kaku, namun ia berusaha keras untuk menggerakkannya.
Saat ia akan mengambil kertas tersebut dari tangan perempuan itu, tiba-tiba suara alarm jam berbunyi. Membangunkan ia dari tidurnya. Ikhsan menghela napas panjang. Ternyata hanya mimpi. Degup jantungnya kini cepat. Ia mengusap dada. Berusaha menormalkan keadaan. Matanya ia kerjapkan beberapa kali untuk menyadarkan dirinya kalau dirinya sedang berada di kosan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Atas Sajadah
Spiritüel[Chapter 1, 2, 3, dan 4 belum direvisi.] Kisah hijrahnya seorang pemuda bernama Ongku Ikhsan dan perjalanannya dalam mengejar cinta Allah. Bagaimanakah kisahnya? Silahkan dibaca :)