"Memperjuangkan keyakinan bukanlah perkara mudah. Sebab, ragu seringkali datang tanpa diundang untuk melumpuhkan. Kau butuh keberanian untuk berdiri teguh atas yakinmu. Kau butuh kemantapan untuk bertahan."
- Ghaznia Mutaharry -******
Perkataan perempuan kemarin di Mesjid itu masih terngiang jelas di kepala Ikhsan. Laksana tenggelam di tengah samudera, dadanya terasa sesak. Ikhsan tak percaya kalimat kemarin benar-benar dapat mengenai batinnya.
Susana sepi. Beberapa bulir air mata berhasil bergelayutan bebas dipipinya. ia menghela nafas. Kepalanya tertunduk, menjatuhkan pasrah air matanya ke ubin dingin. Langit-langit kamar lengang. Tak ada yang terdengar kecuali nada istighfarnya.
"Astaghfirullah... "
Jika semua pengorbanan Abdurrahman bin Auf yang begitu besar saja tapi ketika ia memasuki surga harus dengan merangkak, lantas bagaimana dengan kita yang benar-benar tidak ada apa-apanya dibanding beliau? Apakah kita bahkan sudah layak masuk surgaNya walau hanya dengan merangkak? Padahal mungkin hingga detik ini tingkat keimanan kita masih jauh dibawah rata-rata. Apa yang membuat diri kita berani memohon surga kepadaNya? Sekali lagi kalimatnya menggema berulang dalam kepala.
"Astaghfirullah... astaghfirullah.. " ia mengulang beberapa kali. Ikhsan menatap ujung sajadahnya beberapa saat. Sudah lama sekali ia tak meneteskan air matanya ketika berdoa seusai shalat.
"Ya Allah... Apa yang telah hamba lakukan selama ini?" Ikhsan masih menangis seraya kembali mengambil posisi sujud.
"Astaghfirullah..."
***
Sambil menatap cermin, Ikhsan membenarkan baju koko pendek merah yang ia kenakan. Sudah hampir berbulan - bulan baju itu tergantung rapih di lemari, belum sempat ia gunakan lagi setelah lebaran tahun kemarin. Biasanya, shalat jumat pun ia hanya menggunakan kaos polos biasa dan sederhana.
Ikhsan meraih tas yang tergantung tidak jauh disamping cermin. Baru saja dua langkah menuju pintu, ia berbalik arah menatap sekali lagi dirinya dalam cermin yang berukuran setengah badan. Kali ini dengan senyum mantap ia meninggalkan kamar kossannya dan langsung tancap gas ke kampus.
***
Ikhsan mematung beberapa saat di depan gedung fakultas bahasanya, menatap sosok dirinya yang terpantul di pintu masuk fakultas yang bening. Baju koko merah tampak serasi dengan jeans yang ia kenakan.
Mentari menyapa hangat. Udara sejuk. Kampus tampak ramai. Ikhsan mengabaikan beberapa petugas kebersihan yang sedang mengerjakan tugasnya. Ada yang menyapu halaman depan fakultas, ada yang menyapu lantai lobby, ada yang mengelap pintu kaca dan sebagainya.
"Fyuh..." Ikhsan tak pernah menyangka bahwa ia akan merubah penampilannya seperti ini hanya karena kalimat perempuan kemarin itu.
Ia masih menatap bayangannya, mencoba memantapkan diri, siap mendengar beberapa komentar yang akan melayang padanya berkenaan dengan pakaian yang ia kenakan hari ini. Ia berusaha menanamkan kata-kata "bodo amat" dalam hatinya bila mendengar komentar-komentar bernada ejekan.
Dengan tas selendang yang ia biarkan bergelantungan di pundak kanannya, Ikhsan menaiki tangga menuju lantai dua. Tepatnya menuju lift yang boleh dipergunakan mahasiswa. Ongku Ikhsan melirik jam tangannya sejenak. Masih ada tiga puluh menit sebelum kelas functional grammarnya dimulai pukul 8.40. Ia memutuskan keluar dari antrian dan pergi kearah kanan, menyusuri koridor jurusan bahasa daerah menuju mushola yang berada tepat diujung koridor itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Atas Sajadah
Spiritual[Chapter 1, 2, 3, dan 4 belum direvisi.] Kisah hijrahnya seorang pemuda bernama Ongku Ikhsan dan perjalanannya dalam mengejar cinta Allah. Bagaimanakah kisahnya? Silahkan dibaca :)