"Lalu bagaimana dengan cinta kami kepadamu ya Rasul? Cinta kami amatlah dusta. Sedang cinta engkau kepada kami sangatlah tulus dan besar. Apakah kami bahkan layak untuk mendapatkan cintamu?"
- Ghaznia Mutaharry -
Ikhsan langsung diangkat ke dalam Masjid Daarut Tauhid. Beberapa orang yang semula berdzikir, membaca Al-Qur'an atau diam langsung sigap membantu tatkala orang-orang yang mengangkat tubuh Ikhsan datang. Suasana Mesjid itu memang mulai ramai karena sebentar lagi akan datang waktu maghrib. Alhasil Ikhsan berhasil menjadi pusat perhatian banyak orang.
15 menit kemudian lelaki pingsan tersebutpun akhirnya sadar. Pandangannya langsung mengedar ke sekitar. Menyadari bahwa dirinya bukan berada di toko buku, tempat di mana seharusnya ia berada. Seolah dapat membaca pikiran Ikhsan, lelaki berambut panjang sebahu yang berada di samping kanan Ikhsan akhirnya angkat bicara.
"Akang tadi pingsan di depan toko buku." Ikhsan mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha mengembalikan kesadarannya secara total. Kemudian menatap beberapa orang yang sedang mengitari dirinya sambil mencoba mengundang kembali ingatan tentang kejadian beberapa menit lalu.
"Astaghfirullah.." Wajahnya tertunduk lesu. Memijat keningnya beberapa kali. Sementara orang di samping lelaki berambut panjang sebahu itu kemudian menyodorkan segelas teh tawar hangat.
"Ini untuk membuat badanmu sedikit merasa lebih baik." Ikhsan menerima baik gelas tersebut. "Terimakasih."
"Saya Raynanda." Lelaki berambut panjang sebahu itu memperkenalkan diri. Peci hitam, baju koko panjang juga sorban putih yang melilit di lehernya cukup menggambarkan bahwa Raynanda merupakan anak yang serupa dengan Sidiq dan teman-temannya. Anak Mesjid. Yang memiliki tingkat takwa lebih tinggi daripada Ikhsan. Setidaknya itu bagi Ikhsan yang baru pertama kali melihat.
"Saya Alyaz." Lelaki satu lagi ikut memperkenalkan diri. Sosoknya tak jauh berbeda dengan Raynanda. Hanya saja terlihat sedikit lebih dewasa. Usianya tampak sebaya dengan Ikhsan. Postur tubuhnya kurus. Wajahnya tirus. Pun senyumannya begitu hangat. Menenangkan. Memunculkan aura keramahan.
"Saya Ongku Ikhsan." Ikhsan menyalami diiringi unggingan senyum setelahnya.
"Kamu itu Ikhsan temannya Sidiq kan?" Alyaz membuka percakapan. Mencairkan suasana agar tak terlalu canggung. Pasalnya sebenarnya pagi tadi ketika Alyaz, sang ketua UKM Baqi ini hendak melaksanakan shalat dhuha di masjid Al-Furqan, ia melihat Ikhsan bersama Sidiq sedang asik mengobrol dengan penjual donat di dekat sekre UKM Tutorial.
"Gimana akang bisa tau?"
"Tadi pagi saya sempat melihat kamu mengobrol di Al-Furqan dengan Sidiq." Lagi-lagi senyum Ikhsan mengembang. "Oh.. Jadi akang ini temannya Sidiq?" Alyaz kembali tersenyum tanda mengiyakan.
"Panggil saja saya Yaz. Pun sepertinya kita satu angkatan ko. Kamu angkatan 2014 kan?" Ikhsan mengangguk pelan.
Susana keakraban di antara mereka bertiga terjalin begitu saja. Tak butuh waktu lama untuk terlihat dekat. Obrolan demi obrolan saling terlontar. Orang-orang yang semula mengitari Ikhsan pun, satu persatu mulai menghilang kembali ke tempat masing-masing. Ada yang kembali berdzikir di hamparan sajadah pojok kanan. Ada yang meneruskan memurojaah Al-Qur'annya di barisan belakang. Ada yang sekedar duduk diam sila, meski diyakini Ikhsan bahwa itu bukanlah sekedar duduk diam biasa. Tapi lebih kepada diam karena khusyu memanjat doa kepada Allah entah itu dengan berdzikir dalam hati ataupun memang mengadu sedih yang tak mampu diucapkan lewat kata-kata.
Kemudian mereka bertiga beranjak menuju ke tempat wudhu sebelum duduk di tempat shalat, menunggu adzan maghrib berkumandang.
Ikhsan mendekat ke arah westafel. Menatap lamat-lamat dirinya dalam cermin kamar mandi. Mengusap wajahnya beberapa kali dengan air yang keluar dari keran di atas westafel. Mengingat kembali penyebab kenapa ia tadi jatuh pingsan di jalan. Sementara Alyaz dan Raynanda menunggu di luar setelah selesai berwudhu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Atas Sajadah
Spirituale[Chapter 1, 2, 3, dan 4 belum direvisi.] Kisah hijrahnya seorang pemuda bernama Ongku Ikhsan dan perjalanannya dalam mengejar cinta Allah. Bagaimanakah kisahnya? Silahkan dibaca :)