Cukup sekali saja aku mengucapkan janji pernikahan ini. Aku sudah benar – benar menghafalnya di dalam kepalaku sehingga kalimat tersebut keluar dengan otomatis dari mulutku.
Jika kau bertanya apakah aku nervous, jawabannya adalah sangat. Tentu saja. Apalagi setelah aku melihat Sha untuk pertamakalinya setelah seminggu acara pingitan. Membuat jantungku menghentak – hentak semakin tak karuan.
Oh tuhan, sungguh besar kuasamu. Bagaimana bisa kau ciptakan makhluk sesempurna dirinya. Dia sangat cantik mengenakan kebaya berwarna putih. Membalut dirinya dengan sangat pas di tubuh mungilnya. Seingatku, Sha memang sangat jarang mengenakan riasan pada wajahnya. Dan hari ini dia terlihat luar biasa mengagumkan. Aku benar – benar beruntung mendapatkan istri seperti dirinya. Yaah.. meskipun aku tahu perjuanganku masih akan sangat panjang untuk mendapatkan hatinya.
Kata "sah" menggema di seluruh ruangan. Ijab qobul ini dilakukan di rumah orang tua Sha. Ruang tamunya sungguh luas. Dapat menampung puluhan bahkan mencapai ratusan tamu. Mengingatkan aku pada masa kecil kami dahulu yang sering berlarian atau bersepeda di dalam ruang tamu ini karena luasnya.
Aku lega sekali. Kulirik gadis yang baru saja resmi menjadi istiku. Oh.. istriku. Menyebutnya istri membuat senyum mengembang di bibirku. Aneh rasanya, tapi aku sangat menyukainya.
Dia menunduk. Kulihat ekspresinya datar. Tidak sedih apalagi senang.
Aku meraih tanggannya memasangkan cincin kawin kami. Sepasang cincin perak dengan nama kami terukir di dalamnya. Kupasangkan cincin itu di jari manisnya. Kemudian bergantian dia yang memasangkannya pada jariku.
Indah sekali cincin ini. Sangat cocok di jarinya yang lentik.
Kuraih kepalanya. Mendekatkan bibirku di keningnya. Lama aku mencium keningnya dengan lembut. Setelahnya kutatap lekat matanya yang bulat itu. Dia balas menatapku. Kusambut tatapannya dengan tersenyum manis padanya.
Aku tidak boleh melewatkan kesempatan ini.
Ku letakkan kedua tanganku di bawah rahangnya. Memegangnya dengan lembut kemudian aku mencium pipinya. Kanan dan kiri dengan gemas. Oh.. sudah lama sekali aku ingin menciumnya. Manis sekali. Harum sekali. Aku ingin lebih.
Setelahnya kembali aku menatap matanya yang menyimpan sedikit keterkejutan dan kemarahan. Mungkin. Tapi tentu saja dia tidak bisa menolak. Perlahan kugerakkan pandangan mataku menuju ke bawah. Di sana terdapat bibir merahnya yang sangat menggoda. Bibirnya yang seakan memanggil bibirku untuk mendekatinya. Membuat bibirku terasa kering dan dengan segera aku membasahi bibir bawahku dengan lidahku. Tuhan.. aku benar – benar ingin merasakan bibir itu.
Mataku seperti sudah terkunci pada bibirnya. Lama aku memandangnya. Sampai tanpa kusadari aku mulai mendekatkan lagi kepalaku ke wajahnya. Lebih tepatnya bibirku ke bibirnya.
Kepalanya terasa kaku di tanganku dan mulai bergerak menjauhiku. Dengan refleks aku memindahkan satu tanganku ke pungunggnya untuk menahannya dan satu lagi tanganku berpindah ke dagunya. Membuat bibirnya semakin dekat denganku.
Dia menutup rapat bibirnya saat bibirku semakin mendekat. Hembusan nafasnya terasa menerpa wajahku. Hangat. Kupejamkan mataku ingin merasakan bibirnya dengan khidmat. Jarak kami semakin dekat, dan semakin tegang pula tubuhnya. Kedua tangannya berada di dadaku dan berusaha mendorongku untuk menjauh. Tapi sayangnya tenagaku jauh lebih besar dari miliknya. Sedetik lagi dan aku akan berhasil merasakan bibirnya yang terlihat sangat menggoda.
"Ehm..!" Terdengar suara deheman dari dekat kami. Tapi suara itu belum menyadarkanku.
"Ehhem..!!" Dan kali ini suara itu mampu menyadarkanku. Membautku sedikit linglung. Sha memanfaatkan kesempatan ini untuk mendorongku.
Dan berhasil.
"Kau nanti bisa melakukan itu sepuasnya anak muda. Di kamarmu sendiri." kata bapak penghulu yang berada di depan kami.
Benar – benar bapak ini, seperti tidak pernah muda saja. Lagi pula tadi itu merupakan kesempatan langka. Belum tentu setelah ini aku mendapat kesempatan untuk mencium bibirya. Bisa kupastikan dia akan langsung melemparku ke hutan jika aku melakukannya setelah ini. walaupun jika secara normalnya seharusnya aku bisa lebih bebas untuk melakukan "sesuatu" padanya.
Yaah, tapi mau bagaimana lagi. Pernikahan ini tidak normal kan? Sepertinya – maksudku memang – hanya aku saja yang menginginkannya. Tidak dengan dengan dirinya.
Tuhan, walaupun pernikahan ini tidak normal. Jadikan ini pernikahan satu – satunya dalam hidupku dengannya. Bukalah hatinya untuk menerimaku. Jadikanlah keluarga kami menjadi keluarga yang damai dan bahagia. Buatlah dia bahagia untuk hidup denganku.
Maafkan aku Tuhan, jika aku banyak meminta. Seharusnya aku tidak pantas benyak meminta kepadamu sedangkan aku sering melalaikanmu Tuhan. Maafkan hambamu yang tak tahu diri ini Tuhan.
Tapi aku sangat bersyukur padaMu. Terimakasih engkau telah menjadikannya sebagai istriku dan semoga juga menjadi pendamping hidupku.
Amin.
Aku hanya tersenyum garing membalas protes penghulu itu. Tidak mungkin juga jika terus melanjutkan aksi mesumku itu.
Baiklah, aku akan bersabar. Yang terpenting Sha sudah resmi menjadi istriku.
"Kau boleh mencium tangan suamimu." kata pak penghulu lagi.
Sha tetap diam. Menarik tanganku. Membawa punggungnya mendekat ke bibirnya.
Rasa bibirnya ditangankku terasa seperti sengatan listrik yang datang langsung dari PLN dengan tegangan bermega – mega volt.
Oke, aku berlebihan. Rasanya seperti tersiram air es bersuhu 5°C di satu titik. Di titik yang terkena sentuhan lembut bibirnya.
Hanya punggung tanganku yang diciumnya tapi rasanya sudah seperti ini. bagaimana jika dia mencium bagian tubuhku yang lain.
....................
Eaa.. Oriz mulai mesum. Pasti banyak yang suka mesum di sini. Hayo ngaku! Lanjutin nggak yaa?
Published 31-01-2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Early Marriage! - OPEN PO - Sebagian Part Telah Dihapus
Fiksi UmumAku tidak tahu setan mana yang merasuki kedua orangtuaku. Bagaimana bisa di zaman yang serba modern ini mereka berniat menikahkanku diusia... Enam belas? Aku tidak diizinkan untuk kuliah jika tidak menikah. Bayangkan, ART saja sekarang sudah har...