Bandung tahun 1998, ditemani jutaan pohon rimbun yang dibasahi oleh embun. Matahari malu-malu menampakkan diri dari sisi timur. Kicauan burung kutilang meraimakan jalan desa yang masih basah karena hujan semalam.
Sebenarnya tak ada yang istimewa dengan gadis yang belakangan ku kutahui bernama Rana. Yang aku tau dia aneh. Setiap pagi selalu pergi ke pasar, berkeliling berjam-jam, lalu pulang dengan sebuah kantong plastik berwarna hitam. Bahkan suatu hari aku melihatnya pulang dengan tangan hampa, tanpa membawa apa-apa, hanya udara.
Rana suka melihat tumpukan buah beraneka warna, sayur mayur berwarna hijau yang menyejukkan mata, dan pria rambut ikal yang sedang mengendarai sepeda menuju ke arahnya. Tentu saja tujuannya pergi ke pasar pagi buta adalah untuk menemui pria berambut ikal yang selalu tersenyum manis memamerkan deretan gigi putihnya.
Rana sering memanggilnya Adam. Pria yang kini berada tepat di depannya. Pria sederhana dengan cinta yang mungkin besarnya boleh disandingkan dengan semesta. Ya dia mencintai Rana, begitu pula sebaliknya. Pasar ini adalah saksi bisu kisah mereka. Kisah itu berjalan sama setiap harinya. Sama seperti hari-hari sebelumnya.
Dua tahun kemudian Adam harus pindah ke Jakarta, melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi dan mengelola bisnis buah sederhana milik kakeknya. Siapapun yang meilhat perpisahan mereka pasti tak tega. Mata Rana yang sembab bengkak dan Adam yang sudah tak kuasa menahan air mata. Mungkin tak usah ku jelaskan bagaimana kondisi mereka, apa warna baju yang mereka pakai atau bagaimana keadaan pasar saat itu. kita tidak akan berlama-lama disini.
Adam pergi ke Jakarta, Rana tetap tinggal di Bandung. Melanjutkan kuliahnya juga tapi masih di kota yang sama. Kota tempat kenangan mereka yang takkan pernah dilupa. Tempatnya menemukan cinta pertamanya yang mungkin lebih mirip sinema di salah satu layar kaca. Pria sederhana yang membuatnya kewalahan untuk menjaga hatinya agar tidak tercuri. Walupun pada akhirnya tercuri juga.
Jakarta – Bandung tentu tak masalah bagi mereka yang memiliki jutaan sel cinta yang siap membelah dari satu menjadi seribu satu. Mereka tetap menjaga komunikasi melalui surat. Surat menyurat mereka tentu saja hanya berisi tukar kabar, rayuan gombal dan suatu hal yang membuat mereka ingin segera terbang dari Jakarta ke Bandung dan sebaliknya, Rindu.
Tahun keempat masa perkuliahan mereka, Rana menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Adam? Entahlah Rana sudah tidak mendengar kabar lagi darinya. Terakhir kali mereka berkirim surat 3 bulan yang lalu. Isi suratnya masih sama hanya bertukar kabar.
Dua minggu setelah wisuda, Rana akan dijodohkan dengan anak dari kolega ayahnya. Rana sangat bimbang. Dia tidak punya alasan untuk menolak keinginan orang tuanya. Tidak mungkin dia berkata sedang menunggu seorang pria bernama Adam yang dengan jelas sudah berbulan-bulan tak ada kabar. Rana sudah berusaha mengirim surat kepada Adam tapi yang bersangkutan tak kunjung memberikan balasan. Maka dengan berat hari Rana menyetujui keinginan orang tuanya.
Kehidupan pernikahan Rana bisa dibilang ... bahagia. Suaminya orang yang kaya, bekerja di salah satu perusahaan ternama yang jangan ditanya gajinya berapa. Ditambah lagi kini Rana tengah mengandung buah cinta mereka yang pertama. Rana tentu sangat bahagia, menjadi seorang Ibu adalah pengalaman berharga yang ingin dimiliki oleh setiap wanita. Kebiasaan Rana masih sama, mengunjungi pasar setiap pagi, yang berbeda hanya dia selalu pulang dengan beberapa kantong plastik besar yang tak sempat kuhitung jumlahnya. Belakangan Rana sering ditemani seorang wanita paruh baya, pembantunya.
Usia kehamilan Rana lima bulan, saat Adam tiba-tiba kembali pulang. Mereka tak sengaja bertemu di persimpangan jalan. Adam langsung mencari Rana ketika ia menjejakkan kembali kakinya di kota sejuta cerita itu tentu saja terkejut dengan perut Rana yang mulai membesar. Mereka kemudian memutuskan untuk ngobrol di salah satu cafe terdekat. Adam sangat butuh penjelasan. Rana menjelaskan semua, tanpa melewatkan apapun. Adam hanya terdiam, tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. dia memang sangat bodoh.
Bandung kembali diguyur hujan, hujan akhir desember di penghujung tahun. Langit yang tak lagi biru mungkin sejalan dengan hatinya yang begitu pilu. Rindu yang menggebu hanya mampu tertahan dalam bisu. Gadis yang tidak ditemuinya bertahun-tahun itu kini sudah menjadi milik orang lain. Mengapa harus terjadi pada dirinya? Apakah semesta bahkan tak mendengar doa setiap malamnya? Hanya nama Rana yang selalu terucap lamat-lamat diantara permohonan tulusnya.
Andai saja Adam bisa berkata atau bahkan hanya bergumam "untung saja"
Untung saja aku bertemu kembali dengan Rana tujuh bulan dan lima belas hari lebih awal
Untung saja yang menjadi pendamping hidup Rana adalah aku
Untung saja ada namaku di nama anak-anak Rana
Namun semua terkurung dalam kata andai. Adam hanya perlu melanjutkan hidupnya. Tanpa perlu mengganggu kebahagiaan pemilik hatinya. Bukankah dia bahagia dengan hanya melihat Rana bahagia?
Kadang cinta bisa sedahsyat itu, kamu bisa bahagia dengan hanya melihat orang yang kamu cintai bahagia.
Kadang cinta bisa segila itu, kau bisa saja merasakan sakit dalam tawamu.
Lalu sebesar apa hati yang mampu menampung cinta itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Solar Plexus
Kısa HikayeKumpulan short story. Part satu dengan part lain tidak berhubungan.