DUA

31.3K 2.2K 207
                                    

Untuk sementara belum ada PDF/e-book "Rahasia Boss". Silakan dibaca secara GRATIS di Wattpad.

💕💕💕

"Pak Jaja mau apa?!" Aku kembali bertanya dengan nada tinggi. Kakiku sudah gemetaran dan melangkah mundur menjauhi atasanku.

Mata pak Jaja membelalak padaku membuat aku ingin pingsan saja. "Panas ini, lho," katanya seraya melepas dua kancing atas kemeja biru pucatnya. "Kamu kok nggak nyalain AC sih, Ju? Komputer bisa panas dan lama-lama meledak kalo kepanasan gini. Kamu mau kantor saya kebakaran?" Pak Jaja mengomel sambil mengipasi dirinya dengan tangan kanan.

Antara lega dan kesal. Lega karena pak Jaja tidak melakukan seperti yang aku bayangkan. Kesal karena atasanku ini antara pelupa dan budeg. "Pak, saya 'kan sudah bilang sejak jam tiga sore tadi, AC di ruangan kita mati. Saya minta dipanggilin tukang service AC, Bapak bilang, 'tanggung, mau liburan. Benerinnya sekalian Senin'. Gimana, sih?" Aku memberengut dan mengambil jas pak Jaya lalu melipatnya. "Lagian saya juga sudah nyalain kipas angin, tapi Bapak nggak mau."

"No, no, no. saya bisa enter the wind nanti," katanya. Pria yang tetap tampan meski keringatan itu kini duduk di kursi kebesarannya masih sambil mengibas-kibaskan tangannya.

"Enter the wind itu apa, Pak?" tanyaku sambil menatapnya tak mengerti.

Pak Jaja menatapku dengan menautkan alisnya. Ekspresi wajahnya persis seperti waktu menolakku yang minta izin cuti. "Aduh ... Ju! Kamu ini kerja di perusahaan berlian. Klien kita dari mancanegara. Bahasa Inggris saja enggak bisa. Malu dong, Ju," omelnya lagi.

"Iya, Pak. Maaf. Saya akan belajar lagi. Kalo perlu lewat bimbel," sahutku agar bossman senang.

Pak Jaja tersenyum puas seperti saat mendapat investor dana. "Bagus," pujinya.

"Tapi, itu tadi enter the wind apa, ya, Pak?"

"Aduh." Pak jaja menepuk jidatnya pelan. Aku sudah ingin membantunya membenturkan kepala atasanku ke meja sekalian, agar otak pak Jaja kembali normal. "Kamu itu katro-nya kebangetan, Ju. Itu lho, masuk angin," jelasnya. Paka Jaja menggeleng disertai tatapan mencemooh padaku.

Yaasalam. "Maksudnya cathing a cold kali, Pak," ralatku atas ucapannya. Bosku ini pintar, saking pintarnya jadi sosoan. Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris ada istilahnya sendiri-sendiri. Tidak bisa asal bahasa Indonesia ditranslate ke bahasa Inggris sekenanya. Sekarang yang katro siapa, coba? Aku duduk di kursi berseberangan dengan pak Jaya. Jas miliknya yang sudah kulipat, ada di pangkuanku.

"Nah, itu jeleknya kamu, Ju. Kamu itu ... tidak cakap orangnya. Orang kalo cerdas otaknya, pasti mengerti maksud saya. Dan kalo orang itu cakap, tidak perlu bertanya dan meralat." Pak Jaja mencibir dan raut wajahnya kesal.

Berani bertaruh, ya. Sekretaris pendahuluku mengundurkan diri pasti karena alasan ingin bunuh diri. Mana ada yang tahan dengan bossman yang rada korslet seperti pak Jaja ini. Aku melirik dinding kaca kantor yang menunjukkan pemandangan kota Jakarta. Andai saja kaca itu tidak anti peluru, sudah kudorong pak Jaja hingga jatuh.

"Nah!" Pak jaja menggebrak meja hingga aku yang terkejut mendadak berdiri.

"Eh brak, eh cup! Ya ampun Pak Jaja apa-apaan, sih?!" omelku dalam keadaan berdiri. Tangan kananku memegang dada karena kurasa jantungku berhenti. Jas milik atasanku itu terjatuh dan aku memungutnya lalu meletakan benda itu di atas meja dengan raut wajah marah.

Namun, Pak Jaja justru terkikik geli melihat tingkahku. Amit-amit, ya Tuhan. Mudah-mudahan jangan ada lagi lelaki model beginian.

"Ju, kamu itu ngomong ke sana kemari mau mengalihkan perhatian saya, ya?" tuduhnya.

"Enggak, Pak," bantahku. Mengalihkan perhatian apa? Aku enggak level godain suami orang. Apalagi suaminya model pak Jaja. Aku turut berduka deh untuk istrinya yang sabar ngadepin tingkah absurd Wijaya Tirta.

Pak Jaja mendesah sebelum berkata, "Ju, coba kamu naik ke atas kursi. Cek AC-nya kenapa sampe mati begitu."

Aku mendengkus. "Yang bener aja, Pak. Saya 'kan cewek. Masa disuruh benerin AC."

"Eh, jangan salah, lho! Cewek itu harus multitasking. Tahu dan mengerti segalanya. Ingat dong perjuangan R.A. Kartini menyetarakan pendidikan untuk kaum wanita dan ...."

Aku mengantuk mendengar atasanku mengoceh tentang R.A. Kartini dan seterusnya, yang mana tidak ada kaitannya dengan kejadian hari ini. Aku benar-benar enggak mengerti. Mana bisa urusan AC mati nyambungnya ke R.A. Kartini.

"Nah, Ju, kamu tadi baca-baca file saya, 'kan?"

Aku memutar mata. "Enggak sengaja, Pak Jaja yang terhormat. Lagian saya sudah minta maaf tadi," ujarku lelah.

"Perbuatanmu tak termaafkan, Ju," geramnya.

"Terus saya mau dihukum apaan, Pak? Potong gaji? Terserah Bapak, lah. Gampang saya kasbon lagi," tantangku.

Pak Jaja menegakkan posisis duduknya. "Kamu pikir saya tukang eksploitasi karyawan apa? Saya tidak sekejam itu," belanya.

Memang tidak sekejam itu, tetapi lebih jauh kejam. Sekarang saja, aku sudah ditahannya di kantor. Padahal ini sudah melewati jam karyawan pulang.

"Ju, karena kamu sudah tahu sisi lain saya, kamu harus terlibat di dalamnya," titah pak Jaya.

"Sisi lain apa? Terlibat bagaimana?" Aku mengerutkan dahi. Tak mengerti ucapannya.

"Kamu sekarang tahu 'kan, saya adalah penulis dari karya yang telah kamu baca. Dengerin, ya, karena kamu orang pertama yang tahu, maka saya jadikan kamu admin di media sosial kepenulisan yang bernama Wadaw."

***

6 MAR 2017

Rahasia BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang