TUJUH

19.7K 978 243
                                    

Aku segera keluar menuju depan restaurant untuk mendapatkan sinyal yang bagus untuk menelepon Pak Jaja. Nada sambung terdengar dan sedikit membuatku tersentak.

Ingat mati, ingat sakit. Ingatlah saat kau sulit.

Karena lama tak diangkat, lagu terpotong oleh suara operator.

Jika kamu suka nada ini, tekan lima.

Ish ... Pak Jaja! Mentang-mentang sedang menulis cerita religi, nada sambungnya lagu religi juga. Kenapa nggak sekalian saja nada sambungnya bacaan ayat kursi? Biar tingkah Pak Boss itu nggak absurd lagi.

"Juju!" Suara Pak Jaja terdengar sedikit terpekik. Seakan-akan aku orang yang dia tunggu untuk meneleponnya.

"Pak Jaya di mana?" Aku cukup khawatir. Mudah-mudahan saja beliau tidak salah jalan saat menuju kemari. Dulu kan pernah, kami sudah janjian di restaurant seafood untuk meeting. Lama nggak datang juga. Ternyata Pak Jaja lebih dulu sampai di restaurant seafood, tapi di Bandung!

(-__-)'

"Cepetan kamu ke sini, Ju," perintah Pak Jaja tanpa ingin dibantah--seperti CEO Wadaw pada umumnya.

"Lho, memang Pak Jaya di mana?"

"Di rumah. Kamu sebaiknya lekas kemari. Ini demi masa depannya Dedek."

Dedek itu panggilan untuk putra Pak Jaja yang baru berusia lima bulan. Sekarang saja memanggilnya 'Dedek'. Padahal dulu Pak Jaja mengharuskan aku dan beberapa karyawan lain memanggilnya 'Your Highness Prince Kelana'. Paling besaran dikit dipanggil 'Otong' biar mudah.

Jika ini tentang Dedek, aku nggak tega. Jangan sampai deh, anak itu kenapa-kenapa. Setelah memutuskan sambungan telepon, aku bergegas mencari taksi untuk menuju ke rumah atasanku.

*

Aku memencet bel sampai tiga kali, tetapi tak ada sahutan. Dadaku berdebar semakin tak tentu. Masa rumah sebesar ini tidak ada siapapun? Aku memberanikan diri membuka pintu walau ragu.

"Excuse me, Pak Jay," ucapku dengan nada agak ditinggikan.

Aku terus berjalan hingga bagian tengah rumah. Di ruang keluarga, Pak Jaja terlentang di sofa dan matanya menatap televisi yang menayangkan serial India. Dia tak bergerak atau menyapaku.

"Pak Jaya, Dedek di mana?" tanyaku mulai panik karena atasanku seperti orang kehilangan semangat hidup.

Pak Jaja hanya menunjuk dengan tatapan matanya ke arah kamar yang sedikit terbuka. Saat itu juga aku mendengar rengekan bayi. Aku berjalan cepat untuk masuk ke kamar. Bayi itu hampir menangis, tetapi saat kugendong, putra Pak Jaja kembali tenang.

Aku kembali ke tempat di mana Pak Jaja tergeletak tak berdaya. "Pak, Ibu mana?"

"Separuh jiwaku ... pergi," jawab Pak Jaja seperti lirik lagunya Mas Anang.

Sejak dulu, inilah yang kutakutkan. Bu Helen akhirnya menyadari dia salah menikahi makhluk jadi-jadian seperti Wijaya Tirta lantas pergi dengan orang normal. Tapi, aku kasihan juga jika harus begini. Pak Jaja itu sangat mencintai Bu Helen yang cantik, begitupun sebaliknya. Namun, semua tak ada yang abadi. Begitupula kisah cinta Pak Jaja dan sang istri.

"Sabar, Pak. Pasti ini terasa berat bagi Bapak dan Dedek." Aku menimang bayi di gendonganku. "Lagian, kenapa Bapak nggak nyegah Ibu pergi, sih?" Uh, aku sebal jika ada pria yang tak bisa mempertahankan cintanya. Apalagi mereka sudah berumah tangga.

Pak Jaja mengembuskan napas lalu duduk dengan kepala tertunduk. "Sulit, Ju." Wajah tampan Pak Jaja memandangku. "Helen bakalan marah, kalo saya cegah dia buat belanja-belanja di mall," tuturnya dengan wajah memelas.

Rahasia BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang