ENAM

13.9K 1K 73
                                    

Wijaya Tirta adalah orang yang paling susah menepati janji. Jika seorang cowok bisa menggagalkan kencan hanya karena malam Minggu-nya hujan, pak Jaja bisa meng-cancel sebuah pertemuan karena dikejar update-an cerita di situs Wadaw. Ini tentu akal-akalannya saja.

Oh, jangan berpikir bahwa pak Jaja itu adalah author baik hati yang mengutamakan kepuasan readers-nya. Dua minggu aku mengamati situs Wadaw. Untuk menjadi author favorit semua readers, harus update setiap hari meski per babnya hanya berisi maratus kata seperti harga round toffu. Sedangkan pak Jaja, update cerita hanya setiap satu purnama sekali. Terang saja popularitas pak Jaja di Wadaw ini sulit diraih, sesulit ulangan Matematika karena malamnya justru habis belajar melupakan mantan.

Siang ini, entah alasan apalagi, pak Jaja belum juga hadir dalam pertemuan bisnis dengan delegasi dari Mexico City, tuan Fernando Castillo. Padahal pak Jaja sendiri yang menginginkan pertemuan dengan tuan Fernando di restaurant Jepang saat makan siang.

Aku melihat wajah tuan Fernando yang tampannya seperti bintang telenovela, menatap sebal ke arahku. Mungkin perutnya kembung karena sejak tadi aku menuang sake untuknya sembari menunggu kedatangan pak Jaja.

"No," tolak tuan Fernando ketika aku akan menuang sake entah untuk keberapa kalinya.

Tentu aku bingung dengan reaksi tuan Fernando. Karena seumur-umur, aku tidak pernah mendapatkan penolakan. Ketika melihat masakan ikan buntal, segera saja kusuguhkan kepada tuan Fernando.

"No, Bonita," tolak tuan Fernando lagi. Sepertinya dia terlalu banyak minum sake, sampai lupa namaku. Padahal sudah kuperkenalkan di awal tadi bahwa namaku Julia Taslim. Eh, dia malah memanggilku Bonita.

"Bu Julia, mana pak Wijaya?! Jangan main-main dengan pak Fernando, ya. Dia jauh-jauh dari Mexico City untuk bekerjasama dengan bos Anda. Eh, sampai di Indonesia malah dibiarkan menunggu begini." Pak Seno-asisten tuan Fernando-sudah mulai tidak sabaran. Pria berkacamata hitam itu menunjukkan ekspresi sengitnya padaku.

"Ma-maaf, Pak. Ini saya hubungi lagi." Aku beringsut mundur untuk menelepon pak Jaya.

"Hey, mau ke mana kamu? Melarikan diri, ya?" hardik Pak Seno. Tangan pak Seno mulai meraba pinggangnya sendiri. Sementara aku sudah ketakutan setengah mati karena pak Seno dan tuan Fernando berpenampilan seperti mafia Itali. Jika pak Seno mengeluarkan pistol dari balik jasnya, aku bisa mati berdiri.

Aku mengulurkan telepon di tangan kiriku. "Ini ... Pak, saya mau menelepon pak Wijaya di luar biar dapat sinyal. Mungkin dia terjebak macet. Seharian ini pak Wijaya nggak ngantor. Jadi, kami datang ke sini sendiri-sendiri," terangku dengan suara bergetar.

Aduh, andai aku tahu klien dari luar negeri serem-serem begini, lebih baik aku atur saja agar pak Jaja datang sendiri. Jadi, misalkan perjanjian gagal biar pak jaja saja yang dikorbankan, aku mah jangan.

"Ah, kebetulan kamu mau keluar. Ini, beli obat tetes mata sekalian. Mata saya sedang sakit," tutur pak Seno seraya mengambil uang dari saku celananya lalu mengulurkan selembar uang sepuluh ribu rupiah padaku.

Alamak jaannn .... Aku kira tadi mau ambil pistol, ternyata uang sepuluh ribu. Mana itu kacamata hitam cuma buat nutupin mata iritasi lagi. Baik pak Jaja atau klien-nya, memang sama dodolnya!

*

Repost, Bebs.

10 April 2017

Rahasia BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang