[3] - Who is Rio?

654 77 8
                                    

"Kenalin ini Rio, ini om Anton temen Ayah," kata beliau setelah aku ikut duduk di meja yang mereka tempati. Tampak Rio tersenyum kearahku yang juga kubalas senyum lebar.

"Sorry ya, saya belum jadi ambilin SIM kamu, tadi ada acara soalnya," kata Rio saat aku berjalan kearah wastafel.

Aku mengangguk saja. "Nggak apa-apa, maaf ya ngerepotin hehe.."

"Nggak ngerepotin kok," kata Rio setelah selesai mencuci tangan. "Besok ada kuliah?"

"Jam tiga,"

"Oke kalau gitu nanti saya anter ke kampus kamu,"

"Eh, biar saya ambil ke pos aja nggak apa-apa," duh nggak enak banget lah ya, kesannya gue kaya ngerepotin banget. Belum siapa-siapa juga. Lah emang mau jadi siapanya, Fy? Hahaha kata hati sialan.

"Saya besok nggak di pos." katanya. "Apa saya titipkan ke tante Tiara aja?"

Yah, nanti gue nggak bisa ketemu lo dong! Hampir aku mengatakan kata-kata laknat itu. "Oke deh, nggak apa-apa." kataku yang langsung kurutuki dalam hati. Sok malu-malu banget sih lo, Fyyy! "Makasih ya sebelumnya,"

"Sama-sama," katanya sambil tersenyum, lagi. Yaelah, diabetes gue lama-lama kalau disenyumin mulu gini.


------



Aku menemukan satu lagi poin positif dari diri Rio yaitu dia adalah lawan bicara yang baik. Maksudku, jika kebanyakan laki-laki hanya akan diam, hah huh hah huh saat kita bercerita, ia sebisa mungkin berusaha untuk terlibat tentang topik apa yang tengah kita bicarakan.

Selain itu, ia selalu mencoba mengajak lawan bicaranya ketika dirasa lawan bicaranya itu diam. Seperti tadi. Ayah dan om Anton membicarakan pekerjaan mereka dibidang jahit menjahit organ tubuh manusia (ya, you can call them by doctors) dan satu-satunya yang bisa kulakukan adalah diam sambil menyeruput minumanku yang sudah habis. Rio masih nyambung, karena katanya dulu suka baca-baca buku papanya sedangkan aku... Background satu-satunya yang kumiliki adalah menjadi pasien.

"Kalau pembukuannya rumah sakit gimana, Fy?" Aku mendongak ketika namaku tiba-tiba disebut oleh Rio. "Ribet juga nggak?"

"Yaa.." aku sedikit mengingat-ingat mata kuliah akuntansi pengantar yang sudah lama kupelajari. "Kalau rumah sakit itu kan penyedia jasa ya, jadi nggak terlalu yang susah banget. Biasanya yang kita hindari pas nyusun laporan keuangan tuh punyanya Bank dan penyedia jasa keuangan sejenis. Terlalu banyak catatan, belum lagi nyamain kurs nilai tukar.. Mending perusahaan dagang atau jasa non keuangan deh,"

"Kamu ambil keuangan, Kak?" tanya Ayah yang kubalas dengan mengangkat kedua bahu.

"Rencananya gitu, nggak tahu deh. Besok dijalanin aja dulu," kataku.

Papa sih membebaskan aku. Beliau kebetulan basic-nya memang keuangan. Ralat, dulunya S1 jurusan akuntansi, S2 manajemen keuangan, dan sekarang sedang studi S3 manajemen SDM. "Tapi Papa masih pengen ambil pemasaran juga sih, Fy." kata beliau waktu akan mendaftar studi S3-nya. "Double degree aja apa ya?"

"Gausah. Kebanyakan gelar ntar," kataku asal. Padahal alasan sebenarnya adalah takut tidak bisa mengimbangi gelar yang dimiliki Papa.

Papa pernah bekerja di kantor akuntan, lalu pindah ke perbankan dan sekarang menetap sebagai GM disebuah hotel. Dulunya sempat hampir bekerja di rumah sakit, tapi malah dinaikkan jabatan di kantornya, jadilah batal. Semua tentang papaku cukup membanggakan. Satu-satunya yang aku kesalkan adalah, cara beliau mencari rezeki sampai mengesampingkan aku. Meskipun sudah menjadi ayah, Papa tetap saja terlalu fokus pada dirinya sendiri. Dia tidak pernah bertanya tentang nilaiku. Yang selalu dia katakan tiap bulan adalah "Jajan kamu udah Papa kirim ya, Fy. Nanti kalau kurang pake kartu kredit aja,"

LoFeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang