Chapter 4

1.4K 226 39
                                    

Jam 10 malam, aku melihat Harry masuk kekamarku membawa Starbucks dengan memakai baju kerjanya dan mukanya yang kecapekan walaupun senyumnya itu masih menghiasi wajahnya.

"Bagaimana? Sudah merasa lebih baik?" senyumnya. 

"Sepertinya begitu," kataku. Dia melepaskan jasnya dan menaruhnya pada gantungan khusus yang telah disediakan oleh Rumah Sakit. 

"Untukmu," katanya memberiku segelas Cookie Crumble, aku dengan lahap langsung meminumnya.

"Bolehkah aku tahu mengapa kau menyilet tanganmu?" aku langsung terdiam. Apakah aku harus memberitahunya apa penyebabnya? 

"Baiklah. Lupakan sajalah," katanya. 

"Tidak, oke. Pernahkah kau merasa hancur? 

Pernahkah kau merasa kau tidak berguna?

Tidak, kau tidak pernah merasakan rasa itu,

Disaat itu semua berantakan.

Kau tidak pernah merasakan bagaimana menjadi diriku,

Terluka, merasa tersesat, sendirian dalam gelap.

Dicampakkan dan selalu tidak berguna.

Seperti dipinggir tebing kehancuran dan tidak ada yang mau menyelamatkanmu.

Aku capek merasa dicampakkan, dibully.

Aku benci dunia ini, aku muak dengan semua perlakuan mereka kepadaku. 

Orang tuaku saja ingin aku menderita, mereka membenciku, mereka ingin membunuhku.

Kakak tiriku membawaku kepanti asuhan itu dan aku sebenarnya tidak diterima tetapi karena aku sudah capek disiksa dan disiksa lagi aku menginginkan untuk keluar dari semua itu dan walaupun aku tidak ditempatkan yang semestinya, meskipun aku selalu disalahkan, tetapi aku senang. Aku bisa keluar dari mereka yang mencoba membunuhku. 

Selamat datang dikehidupanku, Harry," mataku memerah, hidungku memerah, nafasku semakin berat dan lama kelamaan bulir-bulir air mata itu jatuh dan Harry memelukku. Wangi parfurmnya memasuki hidungku nafasku masih tidak teratur dan Harry tidak berbicara sepatah katapun kepadaku dia hanya mengelus-elus rambutku saja. 

"Aku memang tidak pernah dibully, tetapi percayalah, masalahmu ini akan bisa kau atasi dan kau, mungkin bisa menjadi orang yang terkenal dilain hari," katanya. Rambut keritingnya yang mulai panjang itu menyentuh pipiku. 

"Ah, ya! Rasanya enak tidak kau menyiletkan tanganmu itu?" tanya Harry meledekku. Aku melepaskan pelukannya dan mencubit perutnya pelan.

"Harry!" kataku. Dia kesakitan dan tertawa.

"Jangan lakukan hal bodoh itu lagi, anak kecil! Untung ada aku," katanya. Aku sudah besar, Harry!

"Sekarang, ceritakan bagaimana kau bisa membawaku dan bajumu itu penuh dengan darahku. Sakit lho sebenarnya diinfus begini," kataku.

"Baiklah, jadi suatu hari yang lalu kau kuantar pulang dan aku memiliki firasat buruk dan aku putuskan untuk menemuimu. Disaat aku kepanti asuhan itu lagi aku bertemu dengan ibu yayasan dan aku langsung memintanya untuk menemuimu dan temanmu bilang kau sednag berada dikamar mandi. Kamar mandi terkunci, dan kau aku panggil-panggil tetap tidak mau menyaut. Akhirnya ketika aku membuka paksa pintu kamar mandi itu aku melihatmu, dengan darah yang terus menerus keluar dari pergelangan tanganmu aku langsung membawamu dan darah yang berada ditanganmu itu menempel dibajuku. Aku tidk perduli dengan itu semua, yang aku mau hanya membawamu ke rumah sakit terdekat agar kau dapat perawatan yang layak. Aku langsung menggendongmu lagi dan membawamu ke UGD dan akulah yang menekan-nekan darah yang terus menerus keluar dari nadimu karena suster-suster itu memakaikan selang-selang itu," katanya menunjuk selang infus dan selang darah yang masih ada sedikit.

PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang