25 : Pemberian Dari Kamu

377 13 0
                                    

PAGI ini, Jingga bangun lebih pagi dari biasanya. Biasanya juga, Jingga akan dibangunkan sama Bunda, Bunda akan menyibak tirai yang ada di kamar Jingga, menyuruhnya untuk mandi dan sholat, membuatnya sarapan. Selalu begitu setiap paginya. Tapi pagi ini tidak, Jingga juga tidak enak kalau misalnya bangun lebih siang. Karena Jingga di sini hanya menumpang.

Tidak ingin membuat Juli yang berada di sebelahnya bangun, Jingga bergerak sepelan mungkin agar kakinya tidak berdecit dengan lantai kamar Juli. Setelah berhasil, Jingga menuju kamar mandi Juli untuk segera mandi dan berakhir sholat subuh.

Setelah semua beres, Jingga membangunkan Juli yang berada di sebelahnya. Ah, Juli juga susah dibangunkannya. Tidak mau lama-lama membangunkan Juli, Jingga terpaksa menyerah dan lebih memilih untuk ke dapur. Siapa tau saja, Mama sedang membuat sarapan. Ah, jadi kangen Bunda.

"Pagi, Ma," sapa Jingga menenteng ranselnya. "Buat apa? Biar Jingga bantu."

Mama tersenyum hangat, membalas sapaan Jingga. "Pagi sayang, Mama lagi buat sandwich aja nih. Buru-buru soalnya, ada janji temu sama klien di butik jam tujuh. Kamu tunggu di meja makan aja, Jingga, nanti malah buat kamu repot lagi."

Jingga terkekeh geli. Jingga juga cukup bangga dengan Mama, meskipun ia sibuk juga, pasti akan membuatkan sarapan untuk keluarganya. "Nggak apa-apa, Ma, lagain kalau misalnya Jingga nungguin aja 'kan jadi gabut, Ma, udahlah Jingga bantu."

"Terserah kamu deh," ucap Mama sambil tertawa akhirnya. "Nih, kamu taruh sandwichnya di meja makan. Sekalian buatkan susu."

"Siap! Langit udah bangun belum, Ma?" tanya Jingga penasaran. "Takutnya nanti dia telat."

"Belum kayaknya. Nanti biar Mama bangunin deh tuh anak. Emang Langit kalau pagi susah dibanguninnya."

Jingga terkekeh geli kemudian mengangguk kepada Mama. Membawakan sandwich ke meja makan, serta susu yang tadi sudah selesai ia buat.

"Cie bantuin Mama!" seruan itu, membuat Jingga kaget setengah mampus. Hampir saja, susu yang berada ditangannya tumpah mengenai seragam sekolahnya. Untung Jingga punya kekuatan untuk menyangkal susu itu.

Jingga mendengus. "Kenapa ngagetin gitu sih, pagi-pagi!"

"Kenapa marah-marah gitu sih, pagi-pagi!" kekeh Langit membuat Jingga mendengus marah. Tak lama, Langit membantu Jingga untuk merapikan peralatan makan. "Kamu kalau marah-marah gitu tambah unyu deh kayak aku."

"Apaan sih, receh tau nggak. Ngomongnya pake aku-kamu lagi. Jangan sok keganjenan deh jadi orang," sinis Jingga.

Langit lagi-lagi tertawa. Tidak peduli dengan omongan Jingga yang kelewat sinis itu. "Nggak apa-apa. Biar romantis, ganjennya cuma sama kamu ini. Nggak sama orang lain. Hayo!"

Jingga mencebikkan bibirnya. "Ya udah terserah deh, sarapan ya. Abis gitu nanti kita langung otw sama Juli."

"Kok sama Juli? Gue nggak mau ah! Dia 'kan rese kalau jalan pagi-pagi. Lama lagi, mesti inilah-itulah. Nggak mau ah, nggak mau pokoknya," cerocos Langit dengan dengusan keras sambil duduk di kursi meja makan.

Mendengar itu, Jingga tertawa terbahak sambil mengacak rambut Langit yang memang seperti tidak disisir. "Untung Juli nggak denger, ay, mau gue ambilin nggak sandwichnya?"

Langit menaikkan alisnya sebelah. "Ay? Apaan tuh."

Jingga mengambil sandwich-nya ke piring Langit. "Kalau gue tanya tuh jawab, jangan malah nanya balik. Gimana sih."

Langit Berwarna JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang