27 : Kamu Hilang

307 12 0
                                    

LANGIT sampai rumah sekitar pukul sepuluh malam, Langit bahagia kali ini, entahlah mungkin karena Langit bisa membelikan komik untuk Jingga. Langit tersenyum sambil melepaskan sepatunya dan masuk ke rumah dengan perasaan bergembira.

Saat masuk, Langit dihadiahi oleh tatapan wajah Papa yang garang sambil menyilangkan kedua lengannya di depan Papa. Langit kaget bukan main saat Papa memasang wajah yang tidak biasa Papa gunakan. 'Kan wajah Papa Langit kocak, jadi kalau tampang garang gitu, Langit jadi pengin ketawa dah tuh!

Langit tertawa, mengibaskan tangannya di depan wajah Papa. "Apasih, Pa, nggak serem sumpah. Lagian Langit masih muda, mau keluyuran nggak pa-pa yang penting besoknya libur," Langit melihat jam hitam yang melingkar di lengan kirinya. "Lagian masih jam sepuluh, Pa. Masih sore."

Papa dari raut wajahnya ketahuan sekali kalau dia emang mau ketawa. Tak lepas dari itu, Papa menepuk bahu Langit seraya tertawa terbahak. "Aduh gagal 'kan tuh Papa buat akting jadi Papa yang galak. Ternyata cita-cita Papa bukan jadi seorang aktor," Papa menganggukkan kepalanya. "Lagian kamu kok pulangnya jam segini? Kenapa nggak pulang jam dua pagi aja?"

Langit tertawa. "Nggak ah, nanti Jingga nungguin Langit gimana?"

Papa mencibir ke arah Langit. "Kamu Jingga mulu yang dipikirin."

"Yah, Papa juga Mama mulu 'kan yang dipikirin?" ungkap Langit dengan menaikkan alisnya sebelah seraya tertawa terbahak melihat kelakuan Papanya tersebut.

Papa mengelus dagunya dengan khas. Kemudian Papa bersikap seperti tadi, seolah serius. "Hm, ngomong-ngomong soal Jingga," kata Papa. "Daritadi Papa nggak liat Jingga, Lang, kata Juli juga Jingga nggak ada."

Langit mengibas tangannya. "Ah Papa bisa aja boongnya. Nggak mungkin lah! Jingga pasti sekarang lagi tidur."

"Ya kalau nggak percaya ya udah, kamu dibilanginnya batu," ucap Papa pergi meninggalkan Langit. "Oh iya, kalau tau Jingga beneran nggak ada. Nggak usah nangis kayak anak bocah, udah gede."

Langit mencibirkan ke arah Papanya sekaligus melebarkan lubang hidungnya. Karena penasaran, akhirnya Langit pergi ke kamar Juli untuk memastikan semua akan baik-baik saja. Kalau ucapan Papa itu hanya boongan saja, nggak mungkin lah Jingga jam segini nggak ada di sini. Jingga juga kalau sudah jam segini pasti bakalan tidur.

Langit mengetuk pintu kamar Juli yang tertutup, tidak ada tanda-tanda Juli akan membukanya. Maka, Langit membuka pintu tersebut yang memang tidak dikunci. Langit di sana hanya melihat Juli yang sedang di meja belajar, menunduk. Seperti membaca sesuatu.

"Jul," Langit memegang pundak Juli. Mendekat ke arah Juli berada, melihat apa yang sedang Juli baca saat itu juga.

Juli menghela napas. Menaruh kembali secarik kertas dan kemudian kursi putarnya menghadap ke arah Langit dengan tatapan seriusnya. Juli mengangkat alisnya. "Kenapa?"

"Galak bener," ungkap Langit setengah nyengir. "Lo-lo lagi baca apaan?"

Juli sekali lagi menghela napas sangat panjang, kemudian memberikan secarik kertas yang tadi sempat Juli baca ke Langit. "Baca aja mending. Biar tau."

Langit mengambil pemberian Juli tersebut dan langsung membacanya.

Untuk Langit, Juli, Mama dan Papa

Maaf kalau kesannya mendadak banget, tapi Jingga bener-bener nggak bisa tinggal di sini lebih lama lagi. Jingga nggak enak sama kalian. Takut ngerepotin juga, Jingga juga punya alasan tersendiri yang nggak bisa Jingga ungkapkan di surat ini.

Pertanda

Jingga Amora

"Apa-apaan sih tuh anak," ucap Langit meletakkan surat tersebut dengan gusar. "Trus lo tau sekarang Jingga di mana?"

Langit Berwarna JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang