37 : Kabar Buruk

278 10 1
                                    

Malam di kota Jogya, sukses membuat Langit menyunggingkan bibirnya manis. Kota Jogya memang tidak seramai Kota Bandung, tapi di sini memang sangat sangat indah. Kalau saja, ia masih dengan Jingga dan pergi berdua di sini, pasti akan jauh lebih mengasyikkan.

Ah, kenapa rasanya Langit seperti mengharapkan Jingga kembali? Bakpia patok dan dua porsi gudeg, sudah berada di kedua tangannya. Sekarang uangnya tersisa lima puluh ribu, Langit juga harus menunggu bus datang.

Berdiam diri di pinggir jalan, membuat Langit kayak orang bego plus kayak orang kebelet boker. Udah mana kanan-kiri memegang makanan. Maka, daripada Langit gabut, ia mengetik beberapa kalimat kepada kedua sahabatnya.

Langit : woy jier gue bete banget, busnya nggak ada.

Langit : maksudnya belom nyampe-nyampe

Bumi : kalo bete doang dateng

Bumi : dasar skb

Kelana : apaan sih ini

Kelana : bawa makanan ga lu lang?

Langit : skb apa ya tolong

Langit : tangan kanan kiri gue itu makanan dan disuruh bokap beli sendiri, gue kayak orang jomblo

Kelana : emang lo jomblo anjir

Bumi : sahabat kalau bete

Langit : oh jadi selama ini kamu cuma nganggep aku sebagai sahabat?

Kelana : BAGI BAGI WOY ANJIR, BAWA MAKANAN GA BILANG-BILANG

Bumi : bukan gitu, Lang:(

Langit : sudah cukup, aku gak percaya lagi sama kamu. Yang kamu lakukan itu ...

Kelana : jahat!

Klakson bus yang mengantarkan Langit untuk sampai hotel, melipirkan ke bahu jalan. Menumpang yang dari dalam keluar satu persatu, membuat Langit harus menepikan dirinya dan menyimpan ponselnya seaman mungkin.

Ketika masuk, Langit melihat perempuan separuh baya keluar dari bus dengan membawa tas yang entah apa isinya.

"Bi Sarah?" sapa Langit, mungkin tidak terdengar seperti sapaan. Lebih seperti meyakinkan kalau ia tidak salah memanggil orang.

Langit yang hendak masuk, digagalkan karena ia ingin berbicara panjang kepada Bi Sarah.

Yang dipanggil menoleh dan mengerutkan keningnya, saat tau itu Langit maka Bi Sarah tersenyum. "Loh? Nak Langit? Kok bisa di sini?"

Langit terkekeh dan mengusap belakang kepalanya. "Hehe, bisa dong. Kan ada pintu ke mana saja," jawabnya asal. "Nggak deng, bantuin Papa. Bi Sarah mau ke mana? Malem-malem kok keluar?"

"Mau ketemu Jingga," jawab Bi Sarah langsung membuat jantung Langit berdegup tidak karuan. "Nak Langit sudah ketemu Jingga?"

Langit hampir tidak konsentrasi dengan apa yang baru saja Bi Sarah bicarakan. Kenapa Bi Sarah mau ketemu Jingga, padahal mereka kan satu rumah.

"Lah, bukannya kalian satu rumah?"

Mendadak Bi Sarah kaget dan melebarkan matanya. "Ah, iya Bibi lupa kalau mau ke rumah temen," Bi Sarah lupa, kalau sebenarnya Jingga bilang ke Bi Sarah untuk tidak memberitahu penyakit yang diderita Jingga apalagi kalau Bi Sarah memberitahukan kepada Langit.

"Bi."

Bi Sarah menghela napas gusar. Susah terlanjur, Langit pasti ingin tahu kenapa dengan Jingganya. Maka, Bi Sarah menyarankan untuk duduk di salah satu kedai untuk membicarakan hal tersebut. Setelah susah selesai, barulah Bi Sarah berdiri dan bilang ke Langit untuk pamit, Bi Sarah tidak melarang Langit untuk menjenguk mantannya tersebut, tapi bagi Langit mendengar cerita tersebut sudah membuatnya sakit bukan kepayang.

Langit terdiam beberapa menit setelah Bi Sarah meninggalkannya. Apa yang baru saja ia dengar, hanyalah khayalan dia saja kan? Bukan asli?

Cowok itu menggarukkan kepalanya gusar. Kenapa ia baru tau kalau Jingga kena kanker? Kenapa baru sekarang setelah setahun Jingga menderita seperti itu?

Bunyi ponsel membuat Langit enggan untuk mengeceknya, sebuah pesan dari kedua sahabatnya dan Papanya.

Papa : Lang kamu di mana? gak kesesat kan? Papa laper banget

Langit menghela napas panjang, kemudian ia tidak kuasa untuk menangis tapi air matanya tidak tumpah sama sekali. Dan dalam hatinya berpikir kalau dia harus bertemu dengan Jingganya.

Dan Langit baru menyadari, putusnya hubungan mereka bukanlah ketidaksengajaan Jingga yang bilang kalau ia harus mengejar ptn, tapi terlebih karena Jingga sedang melawan penyakitnya dan tidak mau membuat Langit khawatir. Jingga benar-benar.

===

"Pa."

Papa yang sedang mengaduk-aduk makanan, menengadah melihat anak sulungnya. "Kenapa?"

"Langit pengen cerita."

"Ya udah cerita aja."

Langit meletakkan sendoknya tanpa minat. Ia kemudian membasahkan bibirnya. "Aku sebenernya sama Jingga udah putus, dan putusnya Langit sama Jingga itu ada beberapa alasan yang sebenernya masuk akal."

Papa terbatuk mendengar cerita anaknya tersebut. "Lah sumpah?"

Langit ketawa. "Udah kayak orang masih muda aja bilangnya lah sumpah," Langit menyodorkan air putih kepada Papanya tercinta. "Langit beneran."

"Kamu kapan putusnya sama Jingga? Padahal dia menantu idaman banget, lagian kamu cocok sama dia ketimbang sama mantan kamu itu, siapa? Alun?"

"Lah Luna, Pa, kenapa jadi alun. Jadinya Alun-alun kota Jogya dong."

Papa terkekeh. "Ya, beda sedikit. Kenapa kamu putus emang?"

Langit menghela napasnya sungguh berat, dan ia menegukkan beberapa teguk air putih ke dalam mulutnya dan bilang. "Jingga sakit."

"Sakit apa?"

"Kanker. Udah setahun dia kanker dan nggak bilang Langit, dan dia malah mutusin gitu aja. Itu tuh kebiasaan Jingga selalu nutupin," katanya. "Kata Papa, Langit bakalan nemuin Jingga apa enggak?"

Papa berpikir. "Kesian juga itu anak, yah kau jenguk lah anak itu."

"Ya kalau Jingga jadi kaget kenapa dia bisa tau gimana?"

"Ya kamu jelasin apa yang udah terjadi lah, kamu bilang kalau kamu nggak sengaja ketemu Bibinya itu dan bilang kalau Bibinya Jingga udah ngomong semuanya."

"Lah Papa gimana sih, orang Bi Sarah aja diem-diem ngasih tau ke Langit. Ini lagi, kenapa Langit jadi diajarin orang kompor."

Papa terkekeh. "Yah kau bertemu dengannya saja lah."

Perkataan Papanya walau emang agak ngaco, memang ada benarnya. Kalau Langit terus mendekam dan terus-terusan harus menjadi paparazi di Jogya, menutup kemungkinan tidak ada kemajuan untuknya. Dan lagi, Langit tidak akan lama di Jogya.

"Kalau besok aku ke sana, kan Langit harus bantuin Papa."

"Ya habis bantuin Papa, gimana sih kamu."

Dan, Langit berpikir semoga saja besok adalah hari yang membuat Langit tidak akan pernah menyesal untuk melakukannya.

••••

Langit Berwarna JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang