4 : Malam Terakhir di Jakarta

728 28 0
                                    

"JINGGA, nanti lo rekam suara orang yang gue wawancarai ya. Jangan sampai lo nggak ngerekam atau kesimpen," suara Radit membuat Jingga pusing sendiri. Bagaimana tidak? Dari semenjak tadi di bus dan sampai di monas ini, Radit tak ada habis-habisnya mengoceh panjang.

"Iya, Dit, gue nggak akan lupa," ucap Jingga dengan berat. Sampai kapan tugasnya akan cepat selesai? Jingga butuh kasur untuk kali ini.

"Ji, lo ngantuk banget ya?" tanya Juli di sebelahnya, melihat kondisi sahabatnya itu yang sedang tidak konsen.

Jingga menoleh, kemudian menggeleng. "Enggak, pengin istirahat aja. Capek juga dari tadi keliling monas."

"Tapi kalau keliling monasnya sama Langit? Lo bakalan capek?" tanya Juli jahil, dan diberi hadiah oleh Jingga dengan pukulan dahsyatnya—ini jika ia berkaitan dengan Langit dan saat Jingga sedang blushing—membuat Juli meringis kesakitan.

Ah, jadi keingat tadi sore saat di atap gedung hotel. Langit memeluk Jingga dengan erat. Sampai Jingga sulit untuk bernapas, tapi tak apalah yang penting bersama Langit.

"Woi, bengong aja."

Jingga nyengir, kemudian mengusap tengkuknya malu. "Ah, Juli bisa aja, kalau jalan-jalannya sama Langit mah. Gue nggak bakalan bete kayak gini!"

"Dasar!"

===

"Lang, dari tadi diem aja kayak anak kecil nahan boker," sahut Kelana di sampingnya. "Kenapa sih?"

Langit cengengesan kepada Kelana, kemudian ia memegang perutnya. "Emang gue nahan boker, Lan, dari tadi. Tapi kayaknya di sini nggak ada toilet ya?"

Kelana mendengus, ia menghela napas berat dan menunjukkan toilet ke arah depan. "Nanti ada pertigaan belok kiri, trus sebelum masuk lo liat di penampang pintunya. Gambarnya cewek atau cowok, nanti lo salah masuk lagi kayak waktu itu, saking kebeletnya."

"Ah! Nggak usah dibahas, Lan, malu!" sungut Langit begitu Kelana menceritakan hal tidak mengenakan. "Udah ah, udah diujung nih. Salam buat yang lain!"

"Kayak lo mau ke mana aja lo, nyet."

Saat tidak kondusif seperti ini, biasanya Langit akan berlari sekencang mungkin untuk menuju toilet. Tidak peduli ada yang memanggilnya atau menyapanya. Buru-buru Langit memasuki area toilet cowok, beruntunglah toilet tidak penuh. Jadi, Langit bisa masuk di salah satu bilik toilet dan segera membuang seluruh sisa makanannya.

Ah, leganya saat Langit sudah—eh, tidak usah dibahas. Sekarang, Langit beranjak menuju westafel dan mencuci tangannya. Kemudian Langit akan kembali sebelum ia melihat Jingga yang sedang merekam penduduk Jakarta yang sedang diwawancarai oleh temannya Jingga.

Langit tersenyum. Melihat wajah serius Jingga, membuatnya gemas sendiri dan ingin segera mencubit pipi Jingga saat itu juga. Langit sepertinya ia sudah berdiri lama melihat wajah serius serta dongkolnya anak itu, karena disuruh oleh temannya. Ia hanya menggelengkan kepalanya melihat Jingga. Lalu kembali ke tempatnya untuk bertemu dengan teman-temannya.

"Lang, dari mana aja sih? Lo tau 'kan kita harus ke museum galeri hari ini juga. Kita juga ada tugas di sana," ucap Kelana membuat Langit menggerutu sendiri. Melihat itu Kelana hanya menggelengkan kepalanya.

"Gue 'kan abis liat Jingga, apa salahnya?" gerutu Langit sebal.

Kelana berdecak. "Detik ini juga, kita harus ke sana. Jingga mulu yang dipikirin," ucap Kelana yang sekarang sudah berjalan duluan. Sedangkan Langit sendiri hanya tertawa mendengar nada ketus dari sahabatnya itu.

Langit Berwarna JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang