39 : Untuk Hari Ini, Untuk Senyummu

332 9 2
                                    

Langit sukses membantu Papanya tanpa kerepotan sama sekali, dan sekarang Langit sedang berjalan-jalan santai. Sendirian di bawah lampu kota Jogya yang makin malam makin ramai.

Langit berniat untuk membelikan oleh-oleh untuk kedua sahabatnya serta orang di rumahnya. Langit juga berniat untuk membeli sesuatu untuk Jingga. Ah, gadis itu. Sungguh membuat Langit tidak mau berhenti memikirkannya.

Suara dentingan ponsel yang berangsur-angsur membuat Langit berdecak kesal. Kemudian ia mengambil ponsel tersebut dan membaca pesan-pesan yang dikirimkan oleh kedua teman super bawel itu.

Kelana : lang jangan lupa beliin oleh-oleh

Kelana : okeh?

Bumi : beliin gue kolor juga gak papa. Kan elit juga, kalo ditanyain sama orang-orang, "eh, kolor lo made in apa?"

Bumi : "made in jogya nih, kalo lo?"

Bumi : kan jadi anjay

Kelana : tolol

Kelana : b aja bum

Langit : pada bacot

Langit : iye gue beliin

Karena tidak ada lagi yang membalas, atau barangkali mereka slow respon, maka Langit menyimpannya dan memilih barang apa aja yang seharusnya ia harus beli.

Ah, harusnya Langit ajak Mama atau nggak Juli yang mengerti soal kayak gini. Daripada harus bingung mau cari apa, Langit membuka aplikasi Line dan menghubungkan Juli dalam video call.

"Bangsut ngapain anjir lo vidcall gue?"  ucapan Juli membuat Langit terkekeh. Langit bisa melihat kalau sekarang Juli lagi asik menonton drama kesukaannya.

"Bantuin gue milih oleh-oleh buat lo, Mama, Ruari, dan kedua curut," ucap Langit. Ponsel Langit mengarahkan ke toko-toko yang menjualkan beberapa aneka oleh-oleh. "Kata lo, gue kasih barang atau apa?"

"Anjir, kayak cewek lo. Udah sih, baju aja. Nggak usah rebet."

Langit menganggukkan kepalanya, menggarukkan karena bingung. "Iya juga ya? Ngapain gue pusing-pusingin, eh tapi Bumi maunya kolor, gue cari di mana ya?"

Juli terbahak. "Ye goblok, ngapain lo jauh-jauh ke Jogya cuma mau beliin kolor? Yang bener aja dong."

"Kalau buat Jingga, enaknya apa ya?"

Juli yang awalnya tidur-tiduran nggak jelas, sekarang malah langsung berdiri di atas kasur dan tatapannya fokus ke arah kamera ponselnya. "Sumpah, Lang, lo ketemu Jingga kapan?"

"Kemaren lusa?" tanyanya pada diri sendiri. "Ya--"

"Demi apapun nggak lucu!"

"Gue nggak ngelawak astagfirullah, Juli, kenapa lo bilang gitu," ucapnya dengan tangan menyentuh dada.

"Lo ngapain ketemu Jingga, anjir?"

Langit mendengus melihat kembarannya yang sekarang telah terserang virus Kelana. "Ya kangen lah gila! Tapi Jingganya..."

Juli kembali duduk dan menghembuskan napasnya beraturan. "Seharusnya lo nggak usah ketemu Jingga."

"Why not?"

"Lang, lo tau kan kalau selama ini dia nyimpen ini dalam-dalam sampe dia mutusin lo ya karena ini. Dia nggak mau lo kecewa, dia mau nutupin itu semua. Dan lo akhirnya ngebongkar, dan ah! Lang, lo bego."

Langit jadi geram sendiri dengan Juli. "Bego gimana? Ya seharusnya dia nggak nyimpen sendiri gitu dong? Nggak apa-apa akhirnya gue kecewa yang penting dia jujur sama gue."

Langit Berwarna JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang