16 : Sedikit Kejanggalan

356 18 1
                                    

SEUSAI dari kedai, kini Jingga ingin buru-buru pulang karena Bunda meminta Jingga untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Ah, kalau saja Budhe Indri tidak pulang kampung, pasti sekarang Jingga sudah tiduran di kamar dan langsung video call-an sama Langit.

Tak apalah, pelajaran juga untuk Jingga agar bisa hidup mandiri. Setelah mengganti baju, Jingga memulai dengan menyapu seluruh rumah. Jingga paling sebal dengan menyapu, selain kotoran mudah saja terbang karena terkena angin, juga menyapu membuat tulang Jingga membengkok.

Saat Jingga ingin mengambil kain pel di kamar mandi, suara bel rumah membuat Jingga dongkol sendiri. Siapa sih, sore-sore gini datang ke rumahnya? Apa orang itu tidak tahu, kalau Jingga sedang kerepotan di sini? Abis ini juga Jingga harus menyetrika pakaian sekaligus mencuci pakaian-pakaian yang sudah seminggu lalu tidak dicuci. Memang sih bisa saja bawa ke laundry, tapi Bunda juga tidak mengizinkan Jingga untuk bermanja dengan seenaknya.

Selain ke laundry menurut Bunda membuang uang, lebih baik Jingga inisiatif sendiri saja mencuci pakaian. Toh, cucinya pakai mesin cuci 'kan? Bukan pakai penggilasan?

"Iya bentar ...," aduh, tulang Jingga sepertinya sudah geser sebelah karena dari tadi bungkuk terus. Sekarang, Jingga membuka gagang pintu utama, dan ya ada orang yang membuat Jingga ingin memeluknya sekarang.

"Halo, Budhe, Jingganya ada?" Langit terbahak melihat kondisi Jingga sekarang yang sedang membawa kain pel serta serbet di pundaknya.

Jingga menoyor kepala Langit dengan seenaknya. "Gue Jingga, tols. Ah, kebetulan lo ada di sini. Gue mau minta bantuan dong, Ngit."

Langit duduk di sofa sambil kakinya diluruskan di atas meja. "Bantuin apa? Ambilin minum ya tolong."

"Eh si anjing ya, sopan banget lo," Jingga mengerlingkan matanya sebal. "Nih, pel seluruh rumah. Gue mau nyetrika baju di atas, awas aja kalau gue liat Langit lagi nonton TV."

Langit mendengus. "Heh, sambut tamu dengan secangkir teh manis dengan setoples kue nastar. Kenapa tamu disambut dengan kain pel menjijikan ini?"

Jingga melemparkan bantal tamu ke arah Langit. "Gue nggak merasa lo tamu di sini, Ngit, selain lo biasanya juga nyelonong masuk. Lo juga seenaknya ngambil minuman dan makanan di kulkas gue!" Jingga menyerahkan kain pel tersebut ke arah Langit. "Cepet ambil, gue ke bawah, lantai udah mengkilat."

Langit mengibas tangannya. "Big no! Gue nggak ngabisin seisi kulkas lo yeh, kambing. Apa-apaan, gue bukan pembantu lo ya plis."

Giliran Jingga yang sekarang mengibas tangannya ke arah Langit. "Cepet, Langit, oke deh oke nanti setelah gue selesai setrika sama cuci baju, gue bakalan kasih lo makanan. Nanti gue bikinin."

"Ah, nggak perlu," Langit mengusap puncak kepala Jingga. "Gue bercanda kok. Pekerjaan lo malah lebih banyak dari gue."

Jingga berkacak pinggang. "Yang bener?"

Langit berdecak sekaligus mencubiti pipi gemas Jingga. "Iya, sayang. Udah sana kerja, gue juga bakalan kerja kok di bawah sini."

Jingga tersenyum seraya mengangkat ibu jarinya ke arah Langit. "Awas lo buat rumah gue jadi berantakan."

Langit memicingkan matanya. "Ya elah, nggak bakal, Jing, sejahat itukah gue? Trust me."

Jingga tersenyum kecil dan mengangguk.

===

Langit berdecak awalnya, karena Jingga menyuruhnya untuk membersihkan seluruh rumahnya. Tapi kalau dipikir-pikir tidak apa-apa juga, toh dia juga mau membuat sang pacar senang. Sekali-kali nggak tak apa 'kan?

Langit Berwarna JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang