Anak Angkat

1.3K 18 2
                                    

                     Tanah merah itu masih terasa lengket ketika aroma mawar dan wangi daun pandan bertabur acak di atas kuburan putriku. Sementara angin sore menghembuskan kesedihan aku, dan istriku, semakin dalam. Satu-persatu para pelayat meninggalkan kuburan. Mereka memberikan kata-kata penguat batin padaku, agar tabah menghadapi takdir Tuhan ini. Kulihat istriku masih segukan menghadapi kenyataan pahit dalam perjalanan hidup kami. Ia masih menyeka tanah merah tempat pembaringan putri kami. Air mata masih mengucur pilu dalam hiasan selendang hitam yang ia gunakan di wajahnya. Begitu rapuh dirinya. Sementara aku mengendong putra sulungku. Disampingnya berdirilah Sarifah, adik kandungnya. Sarifah dipegang bahunya oleh Parno─suaminya. Sambil menengadah kedua tangan, Sarifah memanjatkan do'a untuk yang terakhir buat keponakan tersayang. Lalu ia menunduk mendekati Sabai, kakaknya."Mari kita pulang Uni, hari telah sore. Biarlah Raisya beristirahat dengan tenang," ajak Sarifah pada istriku. Ia menoleh pada Sarifah sambil membetulkan selendang hitamnya. Menatap begitu dalam pada Sarifah. Entah apa yang ada dalam tatapannya. Harapan barangkali. Tak terasa langit merah jingga menghiasi pemakaman putriku─Raisya. Langkah gontai menemani aku, istriku, Sarifah, dan Parno menuju rumah. Kami pulang dalam kesedihan hari-hari, tentang kematian buah hati yang singgah sebentar dalam pelukan. Itulah takdirku dan Sabai.

               



Anak AngkatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang