Part 7

453 7 0
                                    


Sungguh hidup begitu indah katang orang. Kenapa begitu indah? Karena kabar berhembus dari tanah seberang. Kabar yang kunanti tersiar jua, setelah dua dasawarsa penatian. Risma, putriku itu kuliah di Jakarta. Ia satu kampus dengan anak tetangga sebelah rumah. Aku dikabari si Rukayah, anaknya yang laki-laki akan pulang ke kampung bersama Risma. Oh...betapa rindunya aku tentangnya. Kira-kira rupanya seperti apa ya? Pasti secantik ibunya. Suara hati ini semakin menjadi-jadi untuk berjumpa dengan anak perempuan semata wayang. Sementara Sabai duduk di depan rumah setelah menjemur kain. Aku menghampirinya dengan hati gembira. Ia pun heran melihat senyumku. Seakan aku lagi menatap mesra waktu pacaran dulu di tepi Danau Maninjau. Ah, kau istriku. Pasti tak sabar apa yang akan kukatakan.

"Ai, sudahkah kau mendengar kabar dari tetatangga sebelah?" tanyaku gembira menatap wajahnya. Lalu ia membalas tatapanku seketika. Ia terkejut dengan pertanyaan singkat barusan." Kabar siapa Da?" balasnya penasaran. Aku memegang tangan kanannya sambil memperbaiki letak rambut yang menutupi sebagian wajah, dan mulai dihiasi kerutan. Ia semakin penasaran melihat tingkahku.

" Si Risma akan pulang ke kampung kita ini. Ia akan pulang bersama Herman, anaknya si Rukayah. Tetangga kita. Minggu depan ia sampai di rumah ini."

"Benarkah itu Da? Astaga, aku tak menyangka ia akan kembali kerumah ini Da," ungkapnya sambil menahan tangis bahagia. Ia hampir tak percaya kabar itu. Setidaknya ini obat rindu buat Sabai dalam penantian panjangnya." Ia kuliah di kedokteran. Sebentar lagi anakmu bisa mengobati kalau kau sakit Ai," candaku mesra. Ia sumringah sambil mengusap sisa air matanya. Kabar elok mendatangkan kebahagiaan.



Disamping rumah, seminggu setelah kabar itu datang; pohon surian yang meranggas saat musim kering kelihatan mulai menunas. Tunas muda muncul di ujung ranting satu- persatu. Diantara ranting hinggap burung barabah berkicau riuh. Saling bersahutan dengan yang lain. Kicauannya seakan menyambut tamu dalam sebuah tarian rakyat di kampung ini. Di ujung jalan, terlihat seorang perempuan muda berjalan menuju rumah ini. Langkahnya diselingi raut gembira. Aku, Sabai, dan Faiz memperhatikan. Inikah Risma? Ah, langkahnya semakin mendekati rumah. Aku dan Sabai menyongsongnya ke halaman rumah. Ia mengucap salam menyapa."Om dan tante apa kabar," tanya Risma membuka percakapan. Ia juga menyapa dan menyalami Faiz. Haru, sekaligus rindu. Itulah yang tergambar dihatiku. Namun ada yang aneh dari pertanyaan yang diucapkan putriku itu."Om dan tante." Seketika, aku dan Sabai menjawabnya"Alhamdulillah baik nak." Aku mengajaknya masuk ke dalam rumah sambil membawakan tas yang disandangnya. Sabai mempersilakan duduk di ruang makan. Di atas meja, menu penyambutan telah disiapkan. Risma dengan senang hati duduk di kursi, tepat disebelahku. Aku terus memperhatikan raut wajah putriku. Dalam hati aku bertanya "ada apa dengan Sarifah dan suaminya? Tidakah mereka menceritakan tentang aku, dan Sabai pada Risma." Kalaupun itu yang dilakukan mereka terhadap Risma, alangkah kejamnya mereka. Sementara Sabai membagikan piring. Dihadapanku, menu andalan penyambutan Risma sangat menggugah selera. Rendang, dan asam pedas ikan."Wah, kelihatannya enak nih Om," Risma memuji. Oh...ia memanggil aku"Om." Sabai menyendokan nasi buat Risma, anaknya. Tidakah kau tau, itu ibumu? Lalu kami makan selahapnya. Pujian demi pujian dilontarkan Risma pada ibunya, disela kunyahnya. Sementara Faiz menyuruh adiknya itu untuk tambah lauknya. Aku melihat Sabai memancarkan kebahagiaan ditengah kunyahnya. Sesekali ia mencuri pandang melihat kunyah anaknya.

***

Rahasia itu tetap tersimpan. Dan masih tersimpan dalam diri Risma sendiri. Ia tak mengenal aku, Sabai, dan Faiz dalam sejarah hidupnya. Pertemuanku dikampung lima bulan yang lalu dengannya masih misteri. Ia hanya mengenal Sarifah dan Parno sebagai orangtua kandungnya. Suasana di sebuah mesjid semakin ramai. Para tamu satu-persatu mulai memasuki mesjid. Diantara mereka tak ada yang aku kenal. Tanah dewata ini menawarkan keramaian. Bahkan keramahan. Buktinya mereka memberikan senyum penghormatan padaku. Seolah aku pernah akrab dengan mereka. Hari yang dinanti dalam setiap kehidupan manusia datang jua. Pernikahan.Ya, pernikahan anak perempuanku. Ia akan dinikahkan dengan seorang lelaki ganteng. Seorang pengusaha rumah makan Padang. Begitu bisik para tamu. Aku diundang oleh Sarifah dan suaminya untuk menghadiri. Tuan penghulu telah duduk di depan sebuah meja yang telah dialasi kain batik. Kedua pasangan pengantin duduk bersimpuh menghadap tuan penghulu. Begitu cantik dan anggun anakku dihari pernikahannya. Disamping penghulu duduk Parno, sedangkan Sarifah duduk bersama Sabai dibelakang pengantin. Aku duduk disebelah Parno. Tuan penghulu mulai memberi arahan kepada kedua pengantin. Begitu juga pada Parno, sebagai wali nikah buat anaknya. Hafalan ijab kabul mulai dihafal oleh pengantin lelaki, sementara Parno percaya diri bisa mengucapkannya. Aku melihat Parno dan pengantin lelaki berjabat tangan. Tanda ijab kabul dimulai. Ia mulai mengucapkan lafal ijab kabul itu. Dan pengantin lelaki langsung menjawabnya tanpa helaan nafas. Lancar.

"Tidak sah..." celetuk Sabai seketika. Para tamu bingung menatap Sabai. Tuan penghulu pun menyuruh mengulang kembali.

"Siap diulang?" tanya tuan penghulu serius.

"Tunggu tuan penghulu. Bukan ia sebagai walinya. Tapi lelaki yang duduk disampinya. Itu ayah kandungnya," ucap Sabai tegas menatap Parno. Lalu bulir air tumpah dari kedua mata yang kecewa itu. Ia menatap kesal pada Sarifah.

" Seharusnya kau ceritakan siapa ayah dan ibu kandungnya Sarifah," kembali ia menimpali kata menyayat. Para tamu saling tatap melihat ucapan Sabai barusan. Sementara Risma dan calon suaminya terkejut mendengar ucapan yang keluar dari bibir pilu ibu kandungnya. Suasana berubah tegang dan haru. Rahasia yang disimpan adiknya terbongkar di depan para tamu. Ah, kau istriku. Seharusnya kejadian ini tak terjadi. Sarifah dan suaminya jadi malu. Ia pun minta maaf pada Sabai. Kembali tuan penghulu mengingatkan; bahwa ia punya urusan lain. Tuan penghulu menyuruhku duduk di depan meja. Menggantikan posisi Parno.

Sebagai ayah, inilah tugas terakhir dalam perjalanan hidupku. Menikahkan anak perempuan semata wayang. Sebuah kewajibaban dan kemenangan. Aku melihat wajah anak perempuanku. Ia tersenyum gugu menahan tangis bahagianya. Bayangan saudara kembarnya muncul. Ia duduk disamping Risma. Menggunakan pakaian pengantin persis sama dengan Risma. Ia tersenyum sambil melambaikan tangan. Berlalu seketika.


 Sumando merupakan istilah untuk seorang laki-laki di Minangkabau ketika di rumah istrinya.

 Etek adalah panggilan untuk adik perempuan dariibu.  

  Danau Maninjau adalah sebuah danau yang berlokasi di Kabupaten Agam, Sumatra Barat.

Anak AngkatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang