Part2

831 8 0
                                    

               Seminggu berlalu begitu cepat. Dan rumah ini tak ada lagi tangis bayi. Tangis penghibur.

Di ruang makan, aku melihat Sabai sedang duduk diam membisu. Ia memainkan jari telunjuknya iseng diatas meja. Bunyi tik...tik...tik mengalun senyap. Perlahan langkahku mendekatinya. Ia tak memperhatikan bunyi langkahku beralaskan sandal jepit. Kesendiriannya membuat ia lupa akan kehadiran seseorang─suaminya. Apakah ia masih larut dalam duka ini? Tidakkah ia berencana bangkit dari kesedihan? Ah, kau istriku. Larutlah, bisik hatiku. Tanganku memeluknya dari belakang. Mungkin ini pengobat sedihnya. Sementara tangan kananku memegang tangannya yang dingin. Jemari kami menyatu. Aku berharap ia mau bercerita tentang rencana selanjutnya. Bukan tentang kesedihan. Aku menunggu sampai ia mau bicara. "Apa yang mau kau bicarakan Ai," bisikku ke telinganya. Ia hanya balas dengan senyum. Diam. Lalu ia menatap ke arah lain. Entalah. Aku harus menunggu sampai ia mau bicara. Sampai pelukan ini menghangatkan pikirannya kembali. Bagaimanapun ia harus bangkit dari kesedihannya. Bangkit. Itulah yang aku butuhkan. Kalau kondisinya begini, ada ketidak seimbangan. Lagi pula, aku telah berusaha bangkit dari kesedihan ini.


Anak AngkatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang