Tak Berujung

35 3 1
                                    


Given

Cahaya pagi sang surya bersinar terang.
Gorden berwarna merah maroon itu tidak tertutup rapat sehingga celah-celah kecilnya mampu ditembus cahaya pagi. Suasana kamar yang sedikit messy, tak menipu bahwa yang menempati kamar ini adalah orang yang sangat sibuk.
Itulah aku, Given Drew.

***

On Airplane

English airways with flight number JT 374 will land in thirty minutes...

Tidak lama lagi, aku akan menginjakkan kakiku kembali ke negara ini. Indonesia, tempat Ibuku dilahirkan. Dan Bogor, kota sejuta kenangan pahitku terjadi. But, aku akan memulai kehidupan baru disini. Melepaskan segala kenangan buruk, dan mencoba menata kembali hari-hari yang lebih pasti.

Setelah hampir 8 jam perjalanan di udara dengan dua kali transit, aku segera mengambil taksi dan menuju tempat dimana dulu semua memory masa kecilku terukir. Rumah Ibu.

Rumah Ibu berada di kompleks perumahan Arum Ijo. Lurusan Jalan Kasuari, lewat tiga rumah, gerbang putih, disana rumah ibu berdiri megah.
Walaupun dindingnya telah termakan usia, tiang-tiang penyangga sudut rumah yang sedikit karatan,dan rerumputan liar di halaman rumah,namun rumah ini masih sama, masih teduh.

Aku pun segera membuka engsel pintu, meletakkan beberapa koper berukuran medium dan memberi sedikit tip kepada supir taksi yang telah membantuku menggangkat barang. Aku menuju lantai dua rumah. Menuju kamar dengan pintu yang ditempeli tulisan given jagoan cilik ibu .

Tanpa ragu, aku merebahkan badanku ke atas tempat tidur dengan posisi tengkurap. Kesan pertamanya adalah sedikit berabu tetapi, aromanya masih sama; aroma slime buatan tangan. Aku mulai memejamkan mataku, melayangkan pikiranku jauh ke masa lampau dan memulai dunia khayalanku...

***

Cresya

Aku menarik nafasku dalam-dalam lalu menghembuskannya. Ku mantapkan langkahku. Ku eratkan genggamanku dengan tas jinjingku.
"Harus bisa Sya, lo harus bisa bersikap seperti biasanya" kataku dalam hati.

Aku pun berjalan masuk ke sekolah, menuju lorong yang akan membawaku kedepan tangga, menaikki satu persatu anak tangga tanpa celah, dan berdiri tepat di depan pintu kelasku, XI-2.

Memasuki kelas, aku tidak melihat sosok itu. Thanks God! Hanya ada Drifa dan Windhy yang kebetulan hari ini bertugas piket kebersihan, dan Chasya yang sedang berkeliling kelas sepertinya dan memeriksa semua laci meja.
"Eh Cha, lo ngapain?" tanyaku sambil meletakkan tasku diatas bangku.
"Sya! Lo dah datang? Ya ampun,semalam kemana aja lo? Gue line, ga lo balas." Chacha menghampiriku.
"Ohh itu,apa namanya? Hmm, semalam gue cape banget. Karena itu, gue langsung istirahat bentar, eh tapi tau-tau udah larut malam aja" balasku cepat.
"Oh gitu? Yaudah deh. Jadi gini, buku diary gue hilang dari semalam. Seingat gue, gue ga ada bawa tuh ke sekolah. Kira-kira lo ada lihat ga ya?"
"Buku diary lo hilang? Kok bisa? Iya,semalam gue juga ga lihat lo bawa diary"
"Aishh, gimana ini? Buku diary itu segalanya buat gue Sya. Huaa", yaelah si Chacha malah nangis.

Emang Chacha orangnya cengeng, mudah banget baper dan tersentuh. Tapi, harusnya dalam keadaan begini, dia bisa mengontrol dirinya agar tak meneteskan air mata. Karena itu tidak akan menyelesaikan masalah.
Akupun segera menenangkan Chacha. Mengelus pundaknya pelan, dan memberinya nasehat-nasehat kecil.
"Udah dong Cha nangisnya. Nanti gue bantu nyari deh ya? Mendingan sekarang lo tenangin pikiran lo. Jangan gegabah Cha"
Mendengar janji manisku, sedikit membuat Chacha tenang. Dia pun meredakan tangisannya, namun mimik wajahnya tampak jelas bahwa dia masih sangat bingung dan kacau.

Dalam benakku, aku tau, dia pasti masih memikirkan diary kesayangannya.

Selang 6 menit, sosok itu muncul. Dengan wajahnya yang datar, dan rambutnya yang sedikit basah menandakan bahwa dia itu, mandi.
Yaelah Sya, masa iya dia ga mandi ke sekolah? Segitu mentoknya apa otak lo buat mikir sekarang? Sadar Sya sadar.Haha, garing banget ya...

Sosok itu sempat terhenti langkahnya, melihat dan mendengar tangisan Chacha. Dia menoleh, ke arahku. Tapi, aku ragu. Karena jarak antara aku dan Chacha sangat kecil, bahkan tak berjarak. Jadi, tak bisa kuduga dengan tepat siapa yang sebenarnya dia lihat.

Ersten

"Jaga lampu ini baik-baik. Jangan pernah lupakan aku,dan cari tau lah. Bye!"
Kata-kata itu, dan suara itu masih sangat tersimpan dalam otakku. Apakah benar itu dia?
Aku akan membuktikannya hari ini.

Aku berjalan pasti menuju ruang kelas. Namun, langkahku terhenti.
Aku mendapati suara tangisan yang setelah kulihat bersumber dari Chasya-malaikatku. Aku menatapnya dan menghampirinya. Ku coba tuk menenangkannya dengan memegang bahunya. Namun,
"Eh, apa-apaan lo?! Megang-megang bahu gue sembarangan?! , dia menepis tanganku. Membuatku sontak kaget.
"Aduh Cha,sabar Cha sabar" Cresya mencoba menenangkan Chacha.
"Cha,kamu tidak ingat dengan saya? Ersten?" , aku berusaha mengingatkannya
"Apa? Lo, iya emang Ersten. Siswa baru yang kemarin gue tabrak. Terus apa hubungannya sama lo megang-megang bahu gue?!"
"Saya adalah anak laki-laki kecil yang kamu tolong dulu di pameran...",aku masih mencoba menjelaskan.
"Aduh,aduh. Apasih maksud lo?! Gue ga ngerti sama sekali. Kepala gue pusing! Arghh!" Chacha menendang kursi didekatnya dengan kekuatan kecil dan pergi meninggalkan aku.
Aku benar-benar kaget,dan merasa heran. Kenapa Chacha tiba-tiba bertindak kasar seperti ini? Apa tindakanku salah? Apakah dia benar-benar tidak mengingat aku? Atau,aku yang salah orang?
"Chacha! Tunggu gue Cha!" sedangkan Cresya tanpa mempedulikan keberadaanku memilih untuk mengejar Chasya.

***

Chasya

Kacau. Berantakan. Stress. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi pada diriku. Kenapa aku bisa se-emosi ini? Aku berlari sejauh mungkin. Mencari tempat terbaik untuk menangis. Tak ingin ada satupun orang yang melihatku dalam keadaan seperti ini. Aku benar-benar ingin sendiri.

***

Uncontrollable LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang