Klise

41 6 0
                                    

Cresya

Menunggu kehadirannya, tak lama lagi. Kini, akan kuukir memory, tak akan ku kecewakan hatinya lagi.
Aku sudah duduk manis di bangku ku. Aku sudah mempersiapkan segalanya.
Tak lama kemudian, dia datang. Ya, Ersten datang. Dia masuk ke kelas dengan wajahnya yang kelihatan sedikit lusuh. Mungkin, masih karena kejadian semalam.
"Hai, Ersten!" sapaku semangat
"Hai, Sya." sangat bertolak belakang dengan sapaanku, Ersten membalasnya dengan datar tanpa ekspresi. Karena itu, kuurungkan niatku. Aku akan menunggu. Mungkin pulang nanti? Sampai keadaannya akan sedikit membaik.

Bel masuk berbunyi. Tapi, ada yang janggal. Chasya belum menampakkan dirinya juga. Kemana Chacha? Apa dia ga sekolah karena kejadian semalam? Atau, dia hilang dan belum balik ke rumah? Ah, sepertinya dia tidak hilang. Jika itu terjadi, Mama Chacha pasti sudah sibuk meneleponku semalaman. Lagian itu bukan masalah buatku justru, itu membuat tidak akan ada halangan bagiku.

"Cha, lo udah sia-siain semuanya. Dan nantinya lo bakalan lihat semuanya. Siapa Cresya yang sebenarnya."

***

Given

Tak akan terjadi apa-apa. Lagian, ini semua adalah permintaan Ibu nya Chacha untuk menjaga Chacha. Hanya siang ini, sampai jam dua. Tak akan lebih. Aku juga tak akan masuk ke kamarnya. Berjaga-jaga dari ruang tamu itu akan lebih baik.
Menyibukkan diri dengan menonton tv, sambil menyantap beberapa cemilan. Tetapi, tiba-tiba...
"Brukk!! Aduh!"
Dugaanku tak akan salah. Itu suara benda terjatuh. Tak salah lagi, itu berasal dari kamar Chacha. Aku pun segera berlari menuju kamarnya yang ada di lantai dua rumah. Dan benar saja, Chacha terjatuh dari tempat tidurnya.
"Eh,lo gapapa...?!" baru membuka suara, Chacha langsung bertindak di luar dugaanku...

Chasya

"Sakit banget!", aku terbawa mimpi. Tadinya, aku bermimpi berada di kegelapan itu lagi. Dimana aku sedang berlari mengejar sosok anak kecil laki-laki bercahaya itu. Dan begini lah jadinya aku terbawa mimpi hingga aku tak menyadari bahwa aku sedang bermimpi. Jatuh dari tempat tidur.

Suara engsel pintu terbuka. Awalnya aku tak menoleh, karena ku pikir itu adalah Mama. Tapi, saat kudengar suara berat layaknya suara laki-laki dewasa aku terkejut dan berteriak. Aku sama sekali tak mengenal siapa lelaki itu.
"Eh! Lo siapa?! Mau maling ya?! Maling! Maling! Tolong!"aku berteriak sekuat mungkin
"Eh, jangan salah paham dulu. Gue, gu-gue bukan maling"
"Jadi kalau bukan maling, apaan dong? Mau nipu gue lagi" aku telah dalam posisi berdiri, dan mendapatkan keseimbanganku.
"Gue memang bukan maling. Lo salah paham. Gue, tetangga baru lo, rumah gue di seberang rumah lo"
"Te-tetangga baru? Lo, yang namanya Drew?" aku menghentikan niatku untuk menelepon polisi, dan menatap cowok itu tak percaya
"Itu lo tau. Udah, sekarang udah jelas kan? Kalau gue itu bukan maling"

Hp yang tadinya ku ambil dari atas meja, segera ku kembalikan lagi ke posisinya. Tenggorokanku sempat tercekat karena berteriak sekuat mungkin tadi ,untuk berbicara kembali.
"Be-benar, lo tetangga gue?" aku masih belum yakin
"Kalo lo ga percaya, ini ktp gue. Lo bisa lihat" cowok itu mengambil dompetnya dari saku belakang celananya dan memberikan ktpnya kepada ku
Ragu-ragu, aku menarik ktp itu, dan membacanya. Benar saja, dia adalah Given Drew.
"Nih, gue balikin ktp lo. Tapi, kenapa lo bisa ada di rumah gue?"
"Ibu lo, dia minta bantuan gue buat jaga lo. Katanya akhir-akhir ini dia sibuk banget di butik. Pembantu lo juga ga kerja hari ini. Jadi, yaudah itu kenapa gue ada disini."
Aku berpikiri sejenak, dan sepertinya cowok ini tak bohong.
"Oh, oke. Sekarang, lo boleh keluar dari kamar gue. Lo lihat sendiri kan, gue gapapa"
"Benar lo gapapa?"
"Iya, gue gapapa"
"Oke, gue bakalan keluar. Lo bisa istirahat lagi" cowok itu membalikkan badannya dan tak lama keluar dari kamarku.

"Ya ampun Mama! Kenapa Mama ga bilang dulu sama Chacha? Kalau Mama nyuruh orang asing buat jagain Chacha. Lihat nih akibatnya, Chacha jadi malu banget karena udah nuduh dia yang enggak-enggak",aku menggerutu dalam hati.

***

Ersten

Bel berbunyi lagi, menandakan jam kedua mata pelajaran kimia berakhir.
Bangku itu masih kosong, entah kemana pemiliknya pergi.

Dari kemarin hingga detik ini, aku masih memikirkan cewek itu. Ya, Chasya. Hatiku berkata bahwa dia lah yang selama ini kucari, tapi kejadian semalam seakan melunturkan keyakinan itu. Ditambah lagi hari ini dia tidak menunjukkan jati dirinya, makin membuat pikiranku berjalan di luar kendali.

Tak tahan dengan semua ini, aku berniat ingin datang ke rumahnya dan meminta maaf. Maka dari itu, aku akan menanyakan alamat Chasya ke Cresya.
"Em...Sya"
Cresya yang awalnya sibuk menulis sesuatu di bukunya, langsung menoleh ke arahku.
"Iya Ersten?"
"Aku, boleh nanyak sesuatu ga?"
"Boleh dong. Ga usah sungkan kali,hehe"
"Aku mau tanya, alamat rumah Chacha dimana ya?" rasanya lega setelah bertanya hal itu.
"Lo, mau datang ke rumahnya ya? Lo, masih merasa bersalah?"
Dilontarkan pertanyaan seperti itu, aku bingung. Aku merasa ada aura yang aneh dalam diri Cresya setelah aku bertanya hal itu.
"Iya, aku merasa ketidakhadiran Chacha semua adalah karena aku. Untuk itu, aku lah yang seharusnya mendatanginya dan meminta maaf", entah bagaimana prosesnya sehingga aku bisa berkata demikian. Rasanya itu lah yang dari tadi ingin ku katakan.

Tetapi, reaksi Cresya justru membuatku bingung. Dia...dia, menangis? Mengapa? Apa aku salah?

***

Cresya

Tanpa aba-aba, segumpal air menggantung di kelopak mataku. Terasa nyeri di bawah dadaku, tepat di ulu hatiku. Saat Ersten mengatakan dua bait kalimat tersebut.

Dia, begitu mengkhawatirkan Chacha. Sebegitu penting kah Chacha? Bahkan setelah Chacha membuatnya kecewa? Aku benar-benar tak sanggup, tak tahu harus berkata apa. Akhirnya air mataku menetes,satu tetes di sebelah kiri, dua tetes di kanan, hingga akhirnya mengalir dengan derasnya.

Tak bisa menahan, aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Membalikkan badan agar Ersten tak bisa melihat keadaanku sekarang. Tiba-tiba Ersten menyentuh pundakku, dan bersuara
"Sya, kamu tidak kenapa-kenapa kan? Apa aku salah tanyakkan hal ini?"
Aku merasakan sentuhan lembut itu, dan tangisku makin menjadi. Nada suaranya yang lembut dan menenangkan membuatku makin tak sanggup.

Semenit kemudian aku tersadar, ini bukan saatnya aku menangis. Harusnya ini merupakan kesempatan aku untuk memulainya. Aku pun mengusap air mataku, mulai membalikan badanku dan menunjukkan wajahku.
"Ersten, gue mau bilang sesuatu sama lo"
Masih dengan tatapan bingung, namun sekarang Ersten makin mendekatkan jaraknya terhadapku agar bisa mendengar suaraku lebih jelih.
"Sebenarnya, gue, gue itu adalah...."

***
Hai haii...
Balik lagi jumpa sama aku si author, orang yang menjadi tersangka di balik cerita ini hehe.

Udah lama ya ga update. Ya habisnya mau bagaimana lagi sibuk banget hehe. Jangan beralih ya readers, stay terus sama U.L.

Udah kuy lanjut baca and enjoy it!

Uncontrollable LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang