NAMJIN SIDE
"Bagus, aku tidak mau kesalahan yang dulu terulang. Jangan sampai kita punya anak lagi. Cukup anak itu saja yang membuat hidupku berantakan. Aku gagal menikah dengan Yuri karena anak sialan itu." Ucap Namjoon dengan tegas.
"Kau pikir aku mau punya anak lagi?!" suara Seokjin sedikit meninggi "Sudah cukup aku melahirkan satu anak pembawa sial seperti dia. Karena dia impianku hancur! Seharusnya ku gugurkan saja dia sejak awal."
Dua orang dewasa itu mengucapkan kalimat yang begitu menyakitkan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Seakan-akan itu adalah hal wajar yang bisa mereka ucapkan begitu saja. Tanpa sedikitpun memikirkan perasaan seseorang..
"Arghh!"
Namjoon dan Seokjin sempat berpandangan selama beberapa detik setelah mendengar teriakan itu. Berusaha meyakinkan diri masing-masing bahwa suara barusan hanyalah halusinasi mereka. Namun sayang, suara itu terlalu nyata untuk disebut sebagai halusinasi.
Keduanya kini memandang kearah tangga, tempat suara itu berasal. Mata Namjoon ataupun Seokjin membulat kaget ketika melihat Jimin-anak yang baru saja mereka katakan sebagai anak pembawa sial- sedang berjongkok di tangga, dan menunduk.
Sungguh, Namjoon dan Seokjin tidak berniat mengatakan hal itu, apalagi di depan Jimin. Mereka hanya terbawa emosi tadi, hingga reflek berkata demikian. Mereka sadar telah menyakiti hati Jimin, walaupun sebenarnya mereka sudah melakukan hal itu setiap hari, selama 16 tahun, tapi entah kenapa.. kali ini mereka benar-benar merasa bersalah.
"Jimin.." ucap Seokjin lirih.
Sedangkan Namjoon mengalihkan pandangannya, terlalu malu pada diri sendiri karena dengan kejamnya sudah menyakiti perasaan seseorang, terlebih lagi itu adalah anaknya sendiri.
Terlalu larut dalam keterkejutan sekaligus rasa bersalah, membuat Namjoon maupun Seokjin tidak sadar bahwa tangan kiri Jimin mulai terlepas dari pegangan tangga, dan menyebabkan tubuh anak itu condong ke depan lalu terjatuh dari tangga. Hingga-
"JIMIN!" Seokjin berteriak panik saat melihat kepala Jimin membentur lantai dengan keras. Apalagi setelahnya, bisa Seokjin lihat cairan merah kental keluar dan membasahi belakang kepala Jimin.
Seokjin dan Namjoon langsung berlari menghampiri Jimin. Seokjin mengangkat kepala Jimin untuk dia letakkan di pangkuannya tanpa peduli dress putih mahalnya kini ternodai dengan warna merah. Sedangkan Namjoon berusaha menyadarkan Jimin dengan cara menepuk-nepuk pelan pipi Jimin.
Sesaat, hanya sesaat, Seokjin melihat Jimin tersenyum. Senyuman yang sangat manis dan tulus, membuat Seokjin tidak bisa menahan air matanya yang entah kenapa tiba-tiba keluar.
'Kenapa kau masih bisa tersenyum setelah semua yang kami katakan? Jimin.. anak ku..' Seokjin ingin sekali membalas senyuman Jimin, namun dia urungkan saat melihat mata sipit Jimin perlahan menutup.
Namjoon dan Seokjin sama-sama panik. Hanya saja Namjoon lebih bisa mengontrol kepanikannya. Saat Seokjin berteriak panik melihat Jimin yang kehilangan kesadaran, Namjoon langsung mengangkat tubuh Jimin. Berlari membawanya ke mobil dengan Seokjin yang terus berlari mengikutinya sambil menangis.
Namjoon tidak peduli apalagi menghitung, sudah berapa kali dia melanggar lampu merah atau hampir menabrak pengendara lain. Dia hanya fokus mengemudikan mobilnya untuk cepat sampai ke rumah sakit.
Karena setiap kali menoleh ke belakang, dia melihat wajah Jimin yang semakin pucat, terlebih lagi Seokjin yang terus menangis tanpa henti membuat Namjoon semakin panik.
"Jimin. Bertahanlah sayang, jangan tinggalkan eomma. Maafkan eomma.."
Hanya kata-kata itu yang Seokjin ucapkan di sepanjang perjalanan. Air matanya keluar semakin deras setiap melihat wajah chubby yang biasanya selalu ceria tak peduli bagaimana perlakuan appa dan eomma nya itu, kini hanya terdiam tanpa ada sedikitpun ekspresi, apalagi senyuman yang baru saja Seokjin sadari.. senyuman itu sangat manis, membuat siapapun yang melihatnya akan ikut tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Family
FanfictionAppa, Eomma.. bisakah kalian menyayangiku walaupun hanya untuk beberapa bulan? - Jimin