Disinilah Jimin berada. Di sebuah lorong tak berujung.
Yang ada hanyalah cahaya putih yang begitu terang. Tapi anehnya cahaya itu sama sekali tak membuat mata Jimin silau.
"Pergilah Jimin... Apapun yang terjadi, kau harus bertahan. Demi Jungkook.."
"Ne.."
"Semoga kau berhasil."
"Ter-"
Sebatas kata 'terima kasih', namun kata itu tak bisa keluar dari bibir Jimin. Malah rasa tak nyaman yang muncul.
Semakin lama yang Jimin rasakan adalah dadanya bertambah sakit dan sesak, seakan udara disekitarnya terus berkurang secara drastis, pun dengan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering dan perih.
Dengan susah payah, Jimin terus berjalan sembari meremas bagian dadanya, berharap hal itu bisa sedikit mengurangi rasa sesak yang dia rasakan.
Sampai di penghujung lorong, Jimin merasakan kepalanya berdenyut hebat, dadanya semakin sesak, semua tulangnya serasa patah... tepat saat itu sebuah cahaya putih lain muncul dan memenuhi pandangannya.
Putih.. dan sangat menyilaukan.
.
Hangat.. dan sangat nyaman.
Bukan hanya tubuh, perasaannya pun menghangat. Jimin belum pernah merasakan yang seperti ini. Apakah ini hanya mimpi? Ah, kalaupun ini hanya mimpi, tolong biarkan Jimin merasakan saat-saat seperti ini sedikit lebih lama.
Hingga setetes cairan bening menyentuh pipinya, membuat Jimin mau tak mau sedikit terusik. Rasa nyaman yang beberapa detik lalu Jimin rasakan, kini berubah menjadi sedikit sesak walaupun rasa hangat itu masih ada. Sesuatu sedang menindih-memeluk- tubuh mungilnya dengan erat, membuat Jimin sulit bernafas.
Perlahan Jimin membuka matanya untuk menyesuaikan cahaya yang memenuhi pandangannya sedikit demi sedikit sekaligus mencari tau kemana perginya rasa nyaman itu. Semuanya masih putih, tapi tak se-menyilaukan seperti sebelumnya.
Jimin tidak bisa menahan senyumnya ketika mata sipitnya menangkap pemandangan apa- ah bukan, lebih tepatnya siapa orang yang sedang memeluknya.
'Apa ini mimpi? Benarkah orang yang sedang memelukku adalah...'
"Eom.. maa.."
Benar.. ini adalah Seokjin, Eommanya. Sedang memeluknya dengan erat dan hangat. Senyum lemah Jimin semakin terkembang saat mendengar Seokjin yang masih memeluknya menggumam..
"Ah, aku pasti sudah gila karena membayangkan Jimin memanggilku Eomma."
'Eomma, kau tidak gila. Aku benar-benar memanggilmu. Eomma..."
Senyum di wajah Jimin berubah menjadi ringisan saat sakit dan perih tiba-tiba muncul memenuhi tenggorokannya. Entah apa yang terjadi. Tapi sungguh, ini rasanya benar-benar tidak nyaman. Bagaimana Jimin bisa berbicara kalau tenggorokannya sakit seperti ini? Dia butuh sesuatu untuk mengurangi sakitnya.
"Ha.. uus.. " ucapnya susah payah.
Jimin menangis. Apa ini maksud dari konsekuensi yang harus diterimanya karena melanggar keputusan yang telah dia buat sendiri? Harus kehilangan suaranya? Lalu bagaimana Jimin bisa membuat dan meyakinkan appa dan eommanya untuk mempertahankan Jungkook?
"Sadarlah Seokjin. Jangan menahan Jimin lebih lama lagi, biarkan dia pergi dengan tenang."
Yah.. mungkin memang benar. Seharusnya Jimin tak usah kembali, harusnya dia mengajak Jungkook pergi saja. Toh, Seokjin sudah merelakannya. Jadi untuk apa dia kembali kalau orang tuanya benar-benar sudah tidak mengharap kehadirannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Family
FanfictionAppa, Eomma.. bisakah kalian menyayangiku walaupun hanya untuk beberapa bulan? - Jimin