**Chapter 1**

95.9K 2.6K 91
                                    

Jalanan tampak lengang malam ini. Setengah berlari, aku dan kakakku memasuki lobi stasiun San Francisco 4th & King Street menuju mesin tiket. Rencananya aku akan pergi menuju Los Angeles dengan Caltrain yang akan berangkat pukul 09.40 malam, yang berarti lebih kurang empat puluh menit lagi.

Hari ini, dalam hitungan menit hidupku yang sebelumnya datar-datar saja berubah bagaikan sebuah teror. Mungkin aku pernah berbuat kesalahan yang sulit dimaafkan di masa lalu sehingga Tuhan akhirnya menghukumku seperti ini.

Hingga saat ini aku masih berharap jika apa yang terjadi beberapa jam lalu hanyalah sebuah mimpi dan terbangun esok hari karena kicauan burung pada dahan pohon di samping jendela kamar. Namun tampaknya aku harus menyerah akan hal itu, karena sejak tadi aku telah berkali-kali mencubit diriku sendiri tapi tak juga kunjung terbangun dan malah mendapatkan rasa nyeri di beberapa titik pada lengan, perut, dan juga pipi.

"Ini tiket keretamu." Rhez memberiku sebuah karcis yang diambilnya dari mesin tiket yang ada di hadapan kami. "Berhati-hatilah. Ingat, jika dalam waktu satu minggu aku tidak menyusulmu atau pun memberi kabar, kau harus pergi dari tempat itu."

Aku menggenggam tali tasku erat, menatap tiket yang ia berikan dan wajahnya bergantian. "Jangan bicara begitu. Tidak ada hal buruk yang akan terjadi padamu." Kurasakan tenggorokanku tersekat dan mata yang mulai memanas.

Melihatku yang hampir menangis, Rhez pun terkekeh pelan lalu mengusap puncak kepalaku. "Hei, adik cengeng, jangan menangis. Tentu saja tidak akan terjadi apa pun, kau tahu kan kakakmu yang jagoan ini sangat kuat. Tidak perlu khawatir. Aku hanya ingin membuatmu memikirkan kemungkinan terburuk, mengingat siapa yang sedang kita hadapi saat ini," ujarnya santai tapi bisa kulihat ada sedikit keraguan di matanya.

Aku tidak tahu lagi harus menjawab apa dan hanya bisa menatapnya diam dengan mata berkaca-kaca.

"Sudah, jangan tumpahkan air matamu. Sangat tidak pantas seorang gadis yang baru saja merayakan kelulusannya di universitas menangis hanya karena berpisah beberapa hari dengan kakak lelakinya. Kau tidak ingin membuatku meledekmu sepanjang sisa hidup kita, kan?" godanya dengan senyum jail yang tercetak lebar di wajahnya. Seolah keraguan yang tadi kulihat di matanya hanyalah sebuah halusinasi.

Mendengar godaannya mau tidak mau aku pun akhirnya tersenyum. Oh, betapa aku sangat sayang pada pria ini.

"Cepatlah masuk, nanti kau terlambat." Rhez menepuk pelan kepalaku sekali lagi. Dengan sedih, aku pun mengangguk dan maju untuk memeluknya.

"Berjanjilah kau akan baik-baik saja, oke? Aku berjanji secepatnya akan segera menyusulmu," ujar Rhez sambil mengusap pundakku.

"Oke," sahutku pelan dengan anggukan lemah.

Setelah beberapa kali merasa sulit untuk melepaskan diri, aku akhirnya berhasil berbalik dan berjalan masuk untuk menunggu kedatangan kereta. Meninggalkan kakakku jauh di belakangan sana.

Sambil menunggu kedatangan kereta, kuletakkan tas pada lantai di dekat kaki. Aku hanya membawa sedikit pakaian dan beberapa uang untuk hidup selama satu bulan. Tidak ada lagi yang bisa dibawa di dalam tas kecil itu.

Sesekali aku menoleh untuk melihat ke sekeliling yang cukup sepi, entah mengapa rasanya aku seperti sedang diikuti. Tapi setelah menyapukan pandangan ke sekitar, tak ada satu pun yang terlihat mencurigakan. Beberapa orang yang tampaknya akan melakukan perjalanan sepertiku semuanya terlihat normal.

Mungkin aku hanya sedikit berlebihan memikirkan hal ini.

Tapi tunggu... Tentu saja!

Saat aku menyadari betapa bodohnya meremehkan siapa yang kami hadapi tadi sore, seorang pria yang kutebak berusia pertengahan tiga puluhan tiba-tiba muncul di hadapanku.

GeheimnisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang