Bagian 1: Lelaki dari Benua Biru

9.1K 158 7
                                    

Pagi itu setiap orang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Beberapa orang hilir
mudik di hadapanku. Aku dibuat pening karenanya, terutama ibu dan kak Yasmin. Meski
tampak lelah, kebahagiaan terpancar dari wajah keduanya. Kak Wafa, mas Deniez dan mas
Fadli hanya terdengar suaranya. Memberi intruksi ini dan itu pada orang-orang yang sejak
minggu kemarin telah meramaikan rumahku. Mereka yang dengan sukarela membantu
mempersiapkan keperluan untuk acara hari ini. Namun aku tak melihat ayah sejak pagi tadi.
Dimana beliau? Pasti beliau sedang mempersiapkan hal lainnya, yang entahlah aku tak
mengerti atau mungkin beliau sibuk menyambut kedatangan para tamu.

Aku sendiri hanya diam mematung. Aku layaknya permaisuri dengan kebaya putih
yang lengkap dengan hiasan melati membalut kerudungku, duduk di atas ranjang yang telah
mereka sulap bak kamar raja dan ratu di sebuah istana. Sprei putih bersih dengan berbagai
bunga diatasnya. Mawar, anggrek, tulip, semua menghiasi tempat tidurku yang sederhana
kini terlihat begitu elegan. Ya...hari ini aku akan jadi ratu seharian. Aku tak percaya hari ini
adalah hari pernikahanku. Aku melirik kalender kecil yang diletakkan kak Wafa di atas meja
riasku. Bulan Juni, itu berarti aku mambutuhkan waktu tiga bulan untuk menggenapkan
usiaku menjadi dua puluh tahun. Hah! Usia yang begitu muda bagiku untuk menikah. Aku
menahan nafas saat mengingat fakta itu.

Aku jadi teringat dua bulan yang lalu saat Kak Wafa menyampaikan berita ini padaku
dengan kekonyolannya.

"Kau tahu? Ibu sudah menyiapkan segala sesuatunya agar kau bisa segera mengikuti
jejakku."

Ah... rangkaian kata yang sulit aku pahami.

"Maksudmu?" aku menyipitkan mataku, dengan maksud aku tak paham dengan katakatanya.

"Kau akan segera menikah, adikku sayang."

"Ya...ya... aku akan menikah dengan seorang pangeran." gurauku.

"Itu benar sayang." ucapnya lagi dengan senyum lebar menghiasi bibirnya yang tipis.

"Tentu setelah aku wisuda. Aku tak ingin menikah sambil kuliah seperti kakak."
ujarku dengan ledekan khasku, senyum kuda.

"Why not? Nggak ada kok rukun menikah harus lulus kuliah dulu." Kak Wafa
sepertinya belum puas menggodaku.

"Namanya Faiyaz Basel Aidan, dialah pangeranmu." ujar Kak Yasmin yang baru
datang dengan secangkir teh di tangannya diikuti ibu yang berjalan di belakangnya. Kak
Yasmin duduk di sofa di hadapanku. Ia menyeruput tehnya.

"Yang minggu depan akan datang bersama keluarganya untuk mengkihtbahmu. Ayah
telah menerima lamaran pamannya untuk pemuda itu." tambah ibu. Aku sangat terkejut,
serasa ada bola basket menyasar dan menghantam kepalaku. Serta merta aku menjatuhkan
roti yang baru aku gigit sekali.

"Bu..." aku menatap wajah ibuku dengan wajah memelas, layaknya seorang pengemis
yang meminta sepotong roti untuk mengganjal perutnya yang tidak diisi selama dua hari.
Kukatakan dalam raut wajahku, aku tak percaya dengan semua ini.

"Tapi..." aku menggelengkan kepala, tak mengerti dengan semua ini. "Bu, bisakah
kita hentikan lulucon ini, aku mengaku kalah. Aku tak bisa membalas kalian, jika kalian
kompak seperti ini." aku mencoba menyangkalnya.

"Saila... ku katakan sekali lagi, kami tidak sedang menggodamu." ujar Kak Yasmin.

"Setidaknya ayah dan ibu meminta pendapatku terlebih dahulu sebelum menerima
lamaran itu. Bagaimana jika aku tidak sreg dengan lelaki itu?" aku mendelik.

"Maafkan ibu, Saila. Ibu yakin dia adalah pria terbaik untukmu." Ibuku menatap,
membalas tatapanku dengan sejuta kelembutan. "Meski ibu belum pernah bertemu langsung
dengannya. Meski saat itu hanya paman dan bibinya yang datang dan hanya tahu dia dari
cerita keduanya dan Fadli, ibu merasa yakin bahwa dia adalah jawaban dari doa-doaku
untukmu." Ucap ibu mantap.

Samudera HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang