Bagian 3: Antara Mahasiswi, Istri dan Santri

3K 83 0
                                    

Sesampainya di Indonesia, aku tak menunggu lama untuk segera mengurus semua
registrasi ulang kuliahku. Ku temui teman-temanku, rasa rinduku membuatku harus segera
menemui mereka. Satu bulan di Spanyol terasa satu tahun lamanya aku telah meninggalkan
mereka. Ingin rasanya ku ceritakan pada mereka apa yang ku perbuat selama liburan, seperti
yang biasa ku lakukan. Namun tentu hal itu tak mungkin ku lakukan, lagi pula aku yakin
mereka tak akan percaya padaku.

Seorang teman memberiku sebuah brosur tentang sebuah pesantren yang mengadakan
program pesantren mahasiswa, pesantren dimana Aidan menuntut ilmu tahun lalu, pesantren
yang berlokasi di belakang kampusku. Program itu di khususkan oleh para mahasiswa.
Mereka pun mengadakan waktu belajar agamanya di luar jam kuliah. Aku langsung tertarik
dengan program itu.

Aku pun merengek pada ibuku untuk di izinkan masuk pesantren itu. Selama ini aku
tak pernah mencicipi pendidikan di pesantren dan tinggal di asrama untuk beberapa waktu.
Namun ibuku hanya menjawab, "Mintalah izin pada suamimu! Karena aku sudah tak berhak
atas dirimu lagi."

Aku terhenyak dengan jawaban Ibuku. Maka ketika Aidan meneleponku malam itu,
aku langsung mengutarakan keinginanku mengikuti program itu dengan berjuta keraguan
yang menghinggapi dada. Aku pastikan jawaban Aidan akan berbeda dengan yang ku
harapkan.

"Tidak Saila! kau tak perlu mengikuti program itu. Kau bisa belajar secara otodidak."
Ah... tapi Aidan tidak akan sekasar itu, walaupun dia harus menolakku kata-katanya
tidak akan demikian. Dia akan berkata lembut.

"Maafkan aku Saila, aku menyesal tidak dapat mengabulkan permintaanmu. Tapi
bukan berati kau tidak dapat belajar ilmu agama. Aku akan membelikanmu buku-buku
agama."

Namun jawaban Aidan sangat berbeda dengan perkiraanku dan aku tak mengira dia
akan menyetujui rencanaku.

"Tentu aku sangat setuju."

"Benarkah kau setuju?" tanyaku kegirangan.

"Tentu! Pendidikan agama begitu penting. Jika aku pernah mencicipinya, bagaimana
mungkin aku melarang istriku sendiri."

"Lalu bagaimana hari pertamamu berlatih dengan teman-temanmu?" aku mengalihkan
pembicaraan menanyakan kabarnya.

"Alhamdulillah, luar biasa Saila! Aku tak pernah merasakan semangat seperti ini
sebelumnya. Insya Allah, aku akan mempersembahkan yang terbaik untuk semua yang
mendukungku." Jelasnya penuh semangat.

"Terimakasih telah mendukungku." Ucapku

"Kau juga telah mendukungku."

Kudengar Aidan menghembus nafas dalam-dalam.

"Kita harus saling mendukung untuk setiap kebaikan yang kita rencanakan." Ujar
Aidan.

"Insya Allah..." jawabku.

Aku senang persahabatan kami semakin hari semakin membaik. Persahabatan?
Kenapa aku masih menganggapnya sebagai sahabatku. Padahal statusnya lebih dari sekedar
seorang sahabat.

***

Setelah mendapat izin dari Aidan, aku tak menunggu lama untuk segera mendaftarkan
diriku mengikuti pesantren itu. Pesantren? Ah...lucunya. Aku terlalu tua untuk hal mengikuti
pesantren. Pada umumnya seseorang mengikuti pesantren saat duduk di bangku SMP.

Setelah mengikuti serangkaian tes, Alhamdulillah, namaku tercatat sebagai santri baru
di pesantren itu. Artinya aku di terima masuk dan dapat menuntut ilmu agama disana. Masih
terasa canggung bagiku menyandang dua status sekaligus. Santri dan mahasiswi serta satu
lagi sorang istri. Ssstt... untuk yang satu ini jangan sampai seorangpun yang tahu, cukup
sepupuku Mbak Luna, dan Mbak Inge temanku, tidak yang lainnya. Apa lagi salah satu syarat
yang diajukan pesantrenku adalah belum menikah atau single, apa jadinya kalau pihak
pesantren tahu hal ini? Maka mereka akan segera menyoret namaku dari daftar santrinya.
Aku semakin menjaga rahasia ini rapat-rapat.

Samudera HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang