Sepulang kuliah aku langsung pergi ke gudang belakang dimana aku dan teman-teman
di asrama senang menyendiri.Gudang ini tak seperti gudang pada umumnya yang kotor, bau dan dipenuhi oleh
tikus dan kecoa. Gudang ini cukup bersih dan nyaman untuk belajar maupun untuk tidur.
Hanya ada beberapa lemari milik para santri dan beberapa barang yang tidak terpakai.
Ku lemparkan ranselku dan ku rebahkan tubuhku di atas kasur tipis yang telah
tergelar. Aku rasa seseorang baru saja memakainya dan lupa untuk melipatnya kembali.
Ku lirik ranselku, ku teringat pada tabloid olahraga yang baru saja aku beli di kios
depan. Kuraih ranselku dan ku keluarkan tabloid itu. Sudah dua tahun lamanya aku tak
membeli tabloid itu. Seingatku sejak aku duduk di bangku kuliah. Padahal selama di SMA,
aku tak pernah melewatkan satu pekan pun untuk tidak membelinya.“Pak Sukir, tolong belikan tabloid olahraga. Istirahat nanti aku ambil.” Pintaku pada
pak Sukir, satpam sekolahku.“Ok!”
Biasanya pengecer koran itu akan datang pada saat pelajaran di mulai oleh karenanya
aku menitipkan pada pak Sukir yang berjaga di dalam posnya.Sejujurnya aku bukanlah termasuk orang yang tergila-gila pada olahraga. Membeli
tabloid pun bagiku, merupakan pengorbanan besar. Uang jajan yang di berikan Ibuku setiap
harinya hanya cukup untuk makan siang di kantin, aku lebih beruntung karena ayah
memberiku izin membawa sepeda motornya, sehingga aku tak perlu mengeluarkan uang
jajanku untuk ongkos. Jika kubelikan tabloid tentu aku tidak bisa makan siang. Tapi itu tidak
masalah, toh tabloid itu terbitnya hari sabtu. Pada hari jumat dan sabtu, kami pulang lebih
cepat.Tapi aku membeli tabloid sekedar ingin tahu, apakah pekan ini aku akan mendapatkan
kabar tentang Rafaël Alvarez. Walaupun banyaknya aku akan kecewa, karena hanya secuil
berita yang aku dapatkan atau mungkin tak kudapatkan sama sekali.Temanku menyarankanku untuk pergi ke internet, agar aku bisa mendapat info yang
banyak tentangnnya. Ah...tapi aku tinggal di desa, aku harus pergi ke kota yang jaraknya 30
km dari tempat tinggalku untuk menemukan warnet.Aku mungkin memang sudah gila menghabiskan uang jajanku hanya untuk membeli
tabloid setiap hari sabtu. Ya seperti aku sudah gila! Karena aku tergila-gila padanya, Rafaël
Alvarez, bintang sepakbola yang masih muda tapi telah kaya prestasi.Astagfirullah...tapi aku mempunyai alasan kenapa aku mencintainya. Cinta? Benarkah
ini cinta? Ini lebih cocok di sebut nafsu.“Kau sudah gila! Kau mencintainya dan kau mengharapkan dia menjadi seorang
muslim?” Inge duduk di atas meja di kelas. Matanya menatap kedua bola mataku dengan
tajam. “Itu hal yang tak mungkin. Kamu berkhayal dek...”“Dan satu lagi, jangan kau lupakan mbak, aku juga ingin jadi istrinya.” Kataku seraya
ku lemparkan senyum keledai.“Aku tak mengerti jalan pikiranmu. Sadarlah kita ini siapa? Dan siapa dia?” Inge
menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku hanya tersenyum padanya.“Kau tahu bagaimana wanita yang mereka impikan? Mereka menginginkan wanita
yang cantik glamour dan juga seksi. Mereka akan bangga mempunyai istri seperti itu.”“Aku tahu...” jawabku tenang.
“Dan kau tahu berapa juta penggemar wanitanya yang cantik, glamour dan seksi di
Dunia! Bukan hanya di Inggris atau di Indonesia.”“Aku tahu...” aku masih menjawabnya dengan tenang.
“Nah sekarang kau tahu. Sekarang coba kita lihat diri kita! Tak cantik, sederhana, dan
berkerudung.” Inge turun dari meja, ia memegang kedua lenganku dari belakang dan
mendorong tubuhku menuju cermin kelas. “Coba berkaca!” ucapnya lagi gemas. Matanya
setengah melotot menatapku dari kaca.